Indonesia Website Awards

Covid-19 telah Melumpuhkan Dunia Pendidikan

By VianSofyansyah - March 25, 2020


Hampir 1 miliar siswa sekolah di seluruh dunia kini merasakan belajar di rumah

Anak-anak biasanya akan senang kalau dapat liburan dari sekolahnya, mengingat liburan merupakan kesempatan yang baik untuk beristirahat dari penatnya belajar. Namun tidak untuk Ryu, bocah sembilan tahun dari Tokyo. Sebagai imbas dari penyebaran virus corona di Jepang, semua sekolah di penjuru Jepang ditutup pada 2 Maret. Kedua orang tuanya telah memberlakukan jadwal belajar yang ketat setiap harinya. Jadwal tersebut meliputi Bahasa Jepang, Sains, dan Pendidikan Jasmani. Dia belajar matematika dengan sempoa setiap pagi. Pada hari normal dia diijinkan untuk pergi ke taman selama 90 menit. "kami berharap bisa mengajaknya ke taman lebih lama, namun waktunya terbatas karena kami juga harus work from home," kata ibunya, Fujimaki Natsuko.

Ryu adalah salah satu dari hampir 1 miliar siswa di seluruh dunia yang kegiatan sekolahnya harus rela terganggu oleh penyebaran covid-19 (lihat peta). Seperti yang dilansir The Economist, lebih dari 100 negara termasuk China, Italia, dan Korea Selatan telah menutup sekolah-sekolah mereka, begitu pula 43 negara bagian di Amerika, sebagai usaha untuk menahan laju covid-19. Inggris akan menutup seluruh sekolah mereka pada 20 Maret. Sekolah merupakan tempat anak-anak berkumpul setiap hari, meminjam mainan dan menghisap pensil, jelas merupakan tempat yang subur untuk berkebangnya penyakit. Pada tahun 2013 Britain's Health Protection Agency meneliti sebuah wabah flu yang bertepatan dengan penutupan sekolah. Hasilnya menunjukkan bahwa penutupan tersebut berhasil memperlambat transmisi virus, walaupun hal tersebut juga memperlambat proses transfer ilmu pengetahuan.

Data tentang apakah penutupan sekolah dapat membatasi penyebaran covid-19 masih terbatas. Anak-anak mungkin bukanlah "jalur transmisi utama", kata Michael Head, yang mempelajari global health di University of Southampton. Dan biaya dari ekonomi, sosial, dan pendidikan sangatlah besar. Pada 12 Maret Bill de Blasio, walikota New York, mengatakan "banyak, banyak alasan" untuk tidak menutup sekitar 1800 sekolah di kota itu (walaupun pada tanggal 16 Maret hal itu akhirnya terjadi, menghentikan sistem pendidikan terbesar di Amerika Serikat setidaknya selama empat minggu). Bagi seluruh pemerintah, untuk memutuskan apakah sekolah akan ditutup atau tidak tentu bagaikan memakan buah simalakama.

Sebuah penelitian pada 2009 menunjukkan bahwa efek dari penutupan seluruh sekolah dan pusat penitipan anak di Amerika menimbulkan biaya sebesar 0.1-0.3% dari pendapatan domestik bruto. Di beberapa negara yang lain nampaknya lebih siap dalam menghadapi dampak ekonomi. di China penutupan secara nasional datang bersama kebijakan work from home yang diwajibkan oleh pemerintah dan memberikan subsidi kepada perusahaan agar memungkinkan seluruh karyawan daapat melakukan work from home tersebut. Namun di Jepang tidak semua orang tua mendapatkan keringanan work from home atau mengambil cuti sakit berbayar. Di Italia seperlima dari pekerjanya merupakan wiraswasta sehingga tidak berhak mendapatkan upah sakit. Para pekerja serabutan mungkin akan kehilangan pekerjaan mereka jika memilih untuk tinggal di rumah untuk menjaga anak.

Untuk anak-anak miskin, sekolah dapat menyediakan makanan bernutrisi di tiap harinya. sekitar 26 juta siswa di sekolah Amerika-sekitar separuhnya-berhak mendapatkan potongan harga makan siang. Di Kota New York 22.000 anak tidur di tempat penampungan kota. Beberapa distrik sekolah di New York menyiapkan titik penjemputan sehingga mereka masih bisa mendapatkan makan siang gratis. Sedangkan Inggris mengatakan akan terus menyediakan makanan gratis bagi para siswa yang tidak mampu.

Pemerintah harus selalu memperhitungkan biaya tersebut. Namun di tengah peristiwa panndemi ini tentu saja ada pertimbangan ekstra. Penelitian pada 2009 memperkirakan bahwa, jika sekolah-sekolah diliburkan selama sebulan, maka sekitar 6-19% tenaga kesehatan harus tinggal di rumah untuk merawat anak-anak mereka. Inggris akan memberlakukan belajar di rumah bagi para siswa yang kondisi kesehatannya rentan dan mereka yang orang tuanya adalah pekerja kunci. 

Namun bagi kebanyakan orang tua, kekhawatiran terbesar adalah dampak dari diliburkannya sekolah terhadap pendidikan anak mereka. Mereka yang sudah terlanjur siap untuk melaksanakan ujian tentu akan gelisah. Gaokao, ujian masuk perguruan tinggi di China yang biasanya dilaksanakan pada bulan Juni, kini mungkin akan ditunda, kata Xu Liangdi dari China Policy, wadah pemikir, walaupun hingga kini belum ada pengumuman resmi dari pihak pemerintah.

Sekitar 245.000 siswa di Inggris telah bersiap untuk melaksanakan a-levels mereka yang akan dilaksanakan pada bulan Mei dan Juni, sebuah ujian yang akan menentukan di universitas mana-jika diterima-akan memberikan mereka kursi belajar. Pada 18 Maret pemerintah telah mengumumkan bahwa ujian tersebut akan dibatalkan. Borris Johnson, perdana menteri Inggris, mengatakan bahwa pemerintah akan memastikan agar para siswa masih mendapatkan "persyaratan yang mereka butuhkan dan layak untuk karir akademik mereka." Hal tersebut mungkin dapat meredakan ketakutan jika siswa yang orang tuanya tidak mampu atau kekurangan informasi harus menerima dampak yang buruk.

Bagi para siswa di Amerika taruhannya lebih rendah, sebagian karena transkrip nilai mereka-berdasarkan rekam performa akademik mereka sepanjang tahun-merupakan dokumen yang paling penting dalam proses penerimaan mahasiswa baru, namun juga karena mereka dapat mengambil ujian satS, ujian yang digunakan dalam pendaftaran perguruan tinggi, sepanjang tahun kalender. Kebanyakan diadakan pada musim semi. Bagi mereka yang ingin memulai kuliahnya pada tahun 2021, tes pada bulan Maret dan Mei telah dibatalkan. Jadwalnya akan di-reschedule, namun, para calon mahasiswa dapat melaksanakan ujian tersebut di rumah.

Meskipun demikian perguran tinggi harus lebih mengakomodasi, Covid-19 akan "sangat" mempengaruhi prosedur pendaftaran di Miami University di Ohio, ucap Bethany Perkins, direktur penerimaan-terutama di bidang deadlines. Para siswa yang mendapatkan tawaran untuk masuk ke suatu Universitas di Amerika harus segera menentukan pilihan mereka paling lambat pada 1 Mei. Namun mereka tidak perlu mengkhawatirkan bahwa mereka harus mengambil keputusan tanpa dapat mengunjugi calon kampus yang akan mereka tuju. Bersama dengan orang tua mereka, beberapa memohon agar tenggat waktunya diundur hingga 1 Juni. Pihak perguruan tinggi belum menanggapi secara resmi perihal tersebut. Namun Harvard menyatakan bahwa mereka tidak akan merubah proses pendaftaran.

Distrupsi corona ini telah memberikan angin segar bagi mereka yang kontra terhadap ujian dengan pertaruhan tinggi ini, yang ingin dihapus oleh beberapa ahli pendidikan. Beberapa institusi pendidikan telah menjadikan satS hanya opsional saja. Kemudian institusi yang lain, seperti Miami University, sedang mempertimbangkan untuk melakukan hal yang sama. Pergolakan yang sedang terjadi karena covid-19 mungkin akan mempercepat prosesnya, Ucap Ms Perkins. Namun kekurangan dari jenis penilaian yang lain mungkin akan menjadi clear di bulan-bulan selanjutnya, memperkuat pendapat mereka yang percaya bahwa satS dan ujian lain yang cukup sulit, yang relatif objektif dan transparan dalam mengukur kemampuan calon mahasiswa, merupakan cara yang paling tidak adil untuk menentukan siapa yang layak diterima di perguran tinggi.

Pandemi yang sedang terjadi tidak akan mengubah ini. Tapi ia akan menyorot plus dan minus dari sistem belajar online. Materi online kini semakin populer namun baru sedikit negara yang telah tercukupi infrastruktur digitalnya untuk memenuhi kebutuhan semua siswa. Sebuah survey yang dilaksanakan oleh Teacher Tapp, sebuah aplikasi, di lebih dari 6.000 guru di Inggris hanya ditemukan sebanyak 40% dari mereka yang mampu menyiarkan video pembelajaran, dibandingkan dengan 69% di sekolah-sekolah independen. Elena Silva dari New America, wadah pemikir, mengatakan bahwa baru sedikit negara bagian di Amerika Serikat yang memiliki perangkat layak untuk proses belajar mengajar secara online. "Banyak negara bagian yang belum siap. Ini adalah momen peluang yang dipaksakan."

Para guru sudah tidak memiliki banyak pilihan lagi selain menerimanya. Sejak Italia yang telah meliburkan seluruh sekolah dan perguruan tingginya pada 5 Maret, forum-forum guru telah diisi dengan diskusi tentang manfaat dari ZoomMoodle, dan virtual classroom. Beberapa guru telah dilatih untuk memanfaatkan teknologi, namun banyak yang menghadapi kurva belajar yang curam. Carla Crosato, seorang guru di Treviso, di daerah utara Italia, telah mengupload video dimana dia menjelaskan novel-novel karya Italo Svevo dan Luigi Pirandello kepada para siswanya. "Saya tidak pernah mengira bahwa saya akan menjadi YouTuber pada usia 56," pungkasnya.

Bahkan jika para guru berhasil menyiarkan materi mereka, para siswa mungkin akan kesusahan dalam mengikuti mereka. Tidak semua orang bisa selalu online (lihat grafik). Di Amerika sekitar 7 juta anak usia sekolah tidak dapat mengakses internet di rumah. Lin Kengying dari 21st Century Edication Research Institute, sebuah wadah pemikiran di China, mengatakan bahwa dengan diliburkannya sekolah sejak tahun baru Imlek, yang dimulai di akhir Januari, telah membuat organisasinya mempertimbangkan kembali perihal potensi e-learning. "Ini sama sekali tidak berjalan mulus," katanya, mengutip masalah seperti koneksi internet, menjadwalkan kelas, guru yang tidak terbiasa dengan pembelajaran online, dan materi seperti pendidikan jasmani yang "canggung" untuk diajarkan jarak jauh. di China guru diwajibkan untuk menyerahkan rencana belajar mengajar untuk ditinjau oleh badan sensor setempat, dimana hal ini menyebabkan terulurnya waktu dalam proses belajar mengajar. Para siswa juga menghujani aplikasi belajar online dengan review bintang satu agar aplikasi tersebut disingkirkan dari app store. dan Xue Hua, seorang ibu dari dua anak di provinsi Jiangxi, telah mencetak seluruh materi belajar untuk anak laki-lakinya yang berusia 16 tahun, Guo Guo, karena ia khawatir terhadap anaknya yang terlalu lama menghadap layar komputer.

Bahkan jika dilakukan dengan benar, belajar online merupakan alternatif yang kurang baik untuk proses belajar mengajar di kelas. Rata-rata, para siswa tidak akan lebih baik jika belajar secara online, terutama bagi mereka dengan latar belakang akademik yang kurang, kata Susanna Loeb dari Brown University. Belajar online dapat menjadi aset jika siswa tidak dapat berada di sekolah, namun dia menganggap hal ini "tidak optimal bagi kebanyakan siswa" dan menyatakan bahwa tidak berada di sekolah dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pendidikan anak bermasalah.

Belajar online memiliki potensi yang jelas. Teknologi pendidikan yang didukung oleh artificial intelligence dapat membantu para siswa di negara miskin dengan sekolah yang rentan-seandainya mereka memiliki akses internet. Pada 2018 peneliti menemukan bahwa setelah empat setengah bulan menggunakan aplikasi asal India yang bernama Mindspark, yang menguji kemampuan bahasa dan matematika dasar, para siswa lebih banyak mengalami kemajuan di bidang ini daripada mereka yang ada di kelompok kontrol. Namun keberhasilan inisiatif semacam itu bergantung pada persiapan dan organisasi, bukan malah melakukan usaha mendadak untuk mengajarkan semua kurikulum yang ada kepada semua populasi siswa di tengah-tengah situasi pandemi.

Sumber: The Economist

  • Share:

You Might Also Like

4 comments