Indonesia Website Awards

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang   : a. bahwa negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan dan udara dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan oleh Undang-Undang;



bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi nasional yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, mempererat hubungan antarbangsa, dan memperkukuh kedaulatan negara;
bahwa penerbangan merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik mampu bergerak dalam waktu cepat, menggunakan teknologi tinggi, padat modal, manajemen yang andal, serta memerlukan jaminan keselamatan dan keamanan yang optimal, perlu dikembangkan potensi dan peranannya yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis;
bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan penerbangan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, perlindungan konsumen, ketentuan internasional yang disesuaikan dengan kepentingan nasional, akuntabilitas penyelenggaraan negara, dan otonomi daerah;
bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi, perubahan lingkungan strategis, dan kebutuhan penyelenggaraan penerbangan saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penerbangan;


Mengingat     :     Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;





Dengan Persetujuan Bersama



DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENERBANGAN.



BAB I KETENTUAN UMUM
PASAL 1 DEFINISI
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:



Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.


Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia.


Pesawat Udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.


Pesawat Terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri.


Helikopter adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap putar yang rotornya digerakkan oleh mesin.


Pesawat Udara Indonesia adalah pesawat udara yang mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia.


Pesawat Udara Negara adalah pesawat udara yang digunakan oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, kepabeanan, dan instansi pemerintah lainnya untuk menjalankan fungsi dan kewenangan penegakan hukum serta tugas lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Pesawat Udara Sipil adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga.


Pesawat Udara Sipil Asing adalah pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing.


Kelaikudaraan adalah terpenuhinya persyaratan desain tipe pesawat udara dan dalam kondisi aman   untuk beroperasi.


Kapten Penerbang adalah penerbang yang ditugaskan oleh perusahaan atau pemilik pesawat udara untuk memimpin penerbangan dan bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan penerbangan selama pengoperasian pesawat udara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Personel Penerbangan, yang selanjutnya disebut personel, adalah personel yang berlisensi atau bersertifikat yang diberi tugas dan tanggung jawab di bidang penerbangan.


Angkutan   Udara   adalah   setiap   kegiatan   dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.




Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.


Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.


Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya.


Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.


Rute Penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal ke bandar udara tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan.


Badan Usaha Angkutan Udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.


Jaringan penerbangan adalah beberapa rute penerbangan yang merupakan satu kesatuan pelayanan angkutan udara.


Tanggung   Jawab   Pengangkut   adalah   kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga.


Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang bawaan, atau barang yang tidak bertuan.


Bagasi   Tercatat   adalah   barang   penumpang   yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama.


Bagasi Kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri.


Pengangkut adalah badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini, dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.


Tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.


Surat Muatan Udara (airway bill)   adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian pengangkutan udara antara pengirim kargo dan pengangkut, dan hak penerima kargo untuk mengambil kargo.


Perjanjian Pengangkutan Udara adalah perjanjian antara pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo untuk mengangkut penumpang dan/atau kargo dengan pesawat udara, dengan imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa yang lain.


Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan.


Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan bandar udara dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.


Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah sistem kebandarudaraan secara nasional yang menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antarmoda transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya.


Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat   pesawat   udara   mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang     dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.


Bandar Udara Umum adalah bandar udara yang digunakan untuk melayani kepentingan umum.


Bandar Udara Khusus adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya.


Bandar Udara Domestik adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri.


Bandar Udara Internasional adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri dan rute penerbangan dari dan ke luar negeri.


Bandar Udara Pengumpul (hub) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan yang luas dari berbagai bandar udara yang melayani penumpang dan/atau kargo dalam jumlah besar dan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai provinsi.


Bandar Udara Pengumpan (spoke) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi terbatas.


Pangkalan Udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dengan batas-batas tertentu dalam wilayah Republik Indonesia yang digunakan untuk kegiatan lepas landas dan pendaratan pesawat udara guna keperluan pertahanan negara oleh Tentara Nasional Indonesia.


Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) Bandar Udara adalah wilayah   daratan   dan/atau   perairan   yang   digunakan secara langsung untuk kegiatan bandar udara.


Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan adalah wilayah daratan dan/atau perairan serta ruang udara di sekitar bandar udara yang digunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan.


Badan Usaha Bandar Udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan bandar udara untuk pelayanan umum.


Unit Penyelenggara Bandar Udara adalah lembaga pemerintah di bandar udara yang bertindak sebagai penyelenggara bandar udara yang memberikan jasa pelayanan kebandarudaraan untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial.


Otoritas Bandar Udara adalah lembaga pemerintah yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan, keamanan, dan pelayanan penerbangan.


Navigasi Penerbangan adalah proses mengarahkan gerak pesawat udara dari satu titik ke titik yang lain dengan selamat dan lancar untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan penerbangan.


Aerodrome adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang hanya digunakan sebagai tempat   pesawat   udara   mendarat dan lepas landas.


Keselamatan   Penerbangan   adalah   suatu   keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.


Keamanan Penerbangan adalah suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada penerbangan dari tindakan melawan ukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur.


Lisensi adalah surat izin yang diberikan kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk melakukan pekerjaan di bidangnya dalam jangka waktu tertentu.


Sertifikat Kompetensi adalah tanda bukti seseorang telah memenuhi persyaratan pengetahuan, keahlian, dan kualifikasi di bidangnya.


Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah   Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.


Menteri adalah menteri yang membidangi urusan penerbangan.


Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.


BAB II ASAS DAN TUJUAN


PASAL 2 ASAS
Penerbangan diselenggarakan berdasarkan asas:

manfaat;
usaha bersama dan kekeluargaan;
adil dan merata;
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
kepentingan umum;
keterpaduan;
tegaknya hukum;
kemandirian;
keterbukaan dan anti monopoli; j. berwawasan lingkungan hidup; k. kedaulatan negara;
kebangsaan; dan m. kenusantaraan.


PASAL 3 TUJUAN


Penerbangan diselenggarakan dengan tujuan:

mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat;
memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;
membina jiwa kedirgantaraan;
menjunjung kedaulatan negara;
menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional;
menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional;
memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara;
meningkatkan ketahanan nasional; dan i. mempererat hubungan antarbangsa.








BAB III RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
PASAL 4 LINGKUP
Undang-Undang ini berlaku untuk:

semua kegiatan penggunaan wilayah udara, navigasi penerbangan, pesawat udara, bandar udara, pangkalan udara, angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lain yang terkait, termasuk kelestarian lingkungan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
semua pesawat udara asing yang melakukan kegiatan dari dan/atau ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
semua pesawat udara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.






BAB IV KEDAULATAN ATAS WILAYAH UDARA


PASAL 5 WILAYAH UDARA
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.



PASAL 6 KEDAULATAN NEGARA
Dalam   rangka   penyelenggaraan   kedaulatan   negara   atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.





PASAL 7 KAWASAN UDARA
(1) Dalam   rangka   melaksanakan   tanggung   jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pemerintah menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas.

(2)   Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang.

(3) Larangan terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat permanen dan menyeluruh.

(4)   Kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk penerbangan pesawat udara negara.



PASAL 8 KEWENANGAN
(1)   Pesawat   udara   yang   melanggar   wilayah   kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh personel pemandu lalu lintas penerbangan.



(2) Pesawat udara yang akan dan telah memasuki kawasan udara terlarang dan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4) diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh personel pemandu lalu lintas penerbangan.



(3) Personel pemandu lalu lintas penerbangan wajib menginformasikan pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan dan kawasan udara terlarang dan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada aparat yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertahanan negara.



(4) Dalam hal peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak ditaati, dilakukan   tindakan   pemaksaan   oleh   pesawat   udara negara untuk keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau kawasan udara terlarang dan terbatas atau untuk mendarat di pangkalan udara atau bandar udara   tertentu   di   dalam   wilayah   Negara   Kesatuan Republik Indonesia.



(5) Personel pesawat udara, pesawat udara, dan seluruh muatannya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diperiksa dan disidik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.







PASAL 9 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelanggaran wilayah kedaulatan, penetapan kawasan udara terlarang, kawasan udara terbatas, pelaksanaan tindakan terhadap pesawat udara dan personel pesawat udara, serta tata cara dan prosedur pelaksanaan tindakan pemaksaan oleh pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB V PEMBINAAN
PASAL 10 PEMBINAAN


(1) Penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.



(2)   Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.



(3)   Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk   persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan.



(4)   Pengendalian   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (2) meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta   bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.



(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan   pengawasan pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang- undangan termasuk melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.



(6)   Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk:



memperlancar   arus   perpindahan   orang   dan/atau barang secara massal melalui angkutan udara dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya yang wajar;
meningkatkan penyelenggaraan kegiatan angkutan udara, kebandarudaraan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan sebagai bagian dari keseluruhan moda transportasi secara terpadu dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
mengembangkan kemampuan armada angkutan udara nasional yang tangguh serta didukung industri pesawat udara yang andal sehingga mampu memenuhi kebutuhan angkutan, baik di dalam negeri maupun dari dan ke luar negeri;
mengembangkan usaha jasa angkutan udara nasional yang andal dan berdaya saing serta didukung kemudahan memperoleh pendanaan, keringanan perpajakan, dan industri pesawat udara yang tangguh sehingga mampu mandiri dan bersaing;
meningkatkan kemampuan dan peranan kebandarudaraan serta keselamatan dan keamanan penerbangan dengan menjamin tersedianya jalur penerbangan dan navigasi penerbangan yang memadai dalam rangka menunjang angkutan udara;
mewujudkan sumber   daya   manusia   yang berjiwa kedirgantaraan, profesional, dan mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan penerbangan; dan
memenuhi perlindungan lingkungan dengan upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang diakibatkan dari kegiatan angkutan udara dan kebandarudaraan, dan pencegahan perubahan iklim, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.


(7) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan   secara   terkoordinasi   dan   didukung   oleh instansi   terkait   yang   bertanggung   jawab   di   bidang industri pesawat udara, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta keuangan dan perbankan.



(8) Pemerintah daerah melakukan pembinaan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan kewenangannya.



PASAL 11 KEWENANGAN MENTERI


(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.



(2)   Pembinaan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperkuat kelembagaan yang bertanggung jawab di bidang penerbangan berupa:

penataan struktur kelembagaan;
peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia;
peningkatan pengelolaan anggaran yang efektif, efisien, dan fleksibel berdasarkan skala prioritas;
peningkatan kesejahteraan sumber daya manusia;
pengenaan sanksi kepada pejabat dan/atau pegawai atas pelanggaran dalam pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini; dan
peningkatan keselamatan, keamanan, dan pelayanan penerbangan.


(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat didelegasikan kepada unit di bawah Menteri.



(4)   Ketentuan mengenai pendelegasian kepada unit di bawah Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.



PASAL 12 INSTANSI TERKAIT


(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan dengan berkoordinasi dan bersinergi dengan lembaga yang mempunyai fungsi perumusan kebijakan dan pemberian pertimbangan di bidang penerbangan dan antariksa.



(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, lembaga, fungsi perumusan kebijakan, dan fungsi pemberian pertimbangan   di   bidang   penerbangan   dan   antariksa diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB VI RANCANG BANGUN DAN PRODUKSI PESAWAT UDARA


BAGIAN KESATU RANCANG BANGUN PESAWAT UDARA


PASAL 13 PESYARATAN RANCANG BANGUN
(1) Pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang yang akan dibuat untuk digunakan secara sah (eligible) harus memiliki rancang bangun.

(2)   Rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat surat persetujuan setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian sesuai dengan standar kelaikudaraan.

(3)   Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi standar kelaikudaraan dan ketentuan perundang-undangan.



PASAL 14 PERSETUJUAN
Setiap orang yang melakukan kegiatan rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus mendapat surat persetujuan.



PASAL 15 SERTIFIKASI TIPE
(1)   Pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat   terbang   yang   dibuat   berdasarkan   rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk diproduksi harus memiliki sertifikat tipe.

(2) Sertifikat tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pemeriksaan kesesuaian terhadap standar kelaikudaraan rancang bangun (initial airworthiness) dan telah memenuhi uji tipe.



PASAL 16 VALIDASI TIPE
(1)   Setiap pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling- baling pesawat terbang yang dirancang dan diproduksi di luar negeri dan diimpor ke Indonesia harus mendapat sertifikat validasi tipe.

(2)   Sertifikasi validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perjanjian antarnegara di bidang kelaikudaraan.

(3)   Sertifikat validasi tipe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian.



PASAL 17 MODIFIKASI TIPE
(1)   Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang yang telah mendapat sertifikat tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus mendapat surat persetujuan.

(2) Persetujuan perubahan rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pemeriksaan kesesuaian rancang bangun dan uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).

(3) Persetujuan perubahan rancang bangun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

persetujuan perubahan (modification);
sertifikat tipe tambahan (supplement); atau
amendemen sertifikat tipe (amendment). j .


PASAL 18 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan surat persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat udara, sertifikat tipe, serta sertifikat validasi tipe diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KEDUA PRODUKSI PESAWAT UDARA .
PASAL 19 SERTIFIKASI PRODUKSI
(1)   Setiap badan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang wajib memiliki sertifikat produksi.

(2) Untuk memperoleh sertifikat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum Indonesia harus memenuhi persyaratan:

memiliki sertifikat tipe (type certificate) atau memiliki lisensi   produksi pembuatan berdasarkan perjanjian dengan pihak lain;
fasilitas dan peralatan produksi;
struktur organisasi sekurang-kurangnya memiliki bidang produksi dan kendali mutu;
personel produksi dan kendali mutu yang kompeten;
sistem jaminan kendali mutu; dan
sistem pemeriksaan produk dan pengujian produksi.


(3) Sertifikat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian yang hasilnya memenuhi standar kelaikudaraan.



PASAL 20 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prlosedur. memperoleh sertifikat produksi pesawat udara diatur dalam Peraturan Menteri.



PASAL 21 PROSES
Proses sertifikasi pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 19 dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum.



PASAL 22 BIAYA
Proses sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikenakan biaya.



PASAL 23 PELAYANAN UMUM
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.







BAB VII PENDAFTARAN DAN KEBANGSAAN PESAWAT UDARA




PASAL 24 PENDAFTRAN
Setiap pesawat udara yang dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran.



PASAL 25 KETENTUAN PENDAFTARAN
Pesawat udara sipil yang dapat didaftarkan di Indonesia harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

tidak terdaftar di negara lain; dan
dimiliki oleh warga negara Indonesia atau dimiliki oleh badan hukum Indonesia;
dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing dan dioperasikan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaiannya minimal 2 (dua) tahun secara terus-menerus berdasarkan
suatu perjanjian;

dimiliki oleh instansi pemerintah atau pemerintah daerah, dan pesawat udara tersebut tidak dipergunakan untuk misi penegakan hukum; atau
dimiliki oleh warga negara asing atau badan hukum asing yang pesawat udaranya dikuasai oleh badan hokum Indonesia berdasarkan suatu perjanjian yang tunduk pada hukum yang disepakati para pihak untuk kegiatan penyimpanan, penyewaan, dan/atau perdagangan pesawat udara.

PASAL 26 PENYAJUAN
(1) Pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diajukan oleh pemilik atau yang diberi kuasa dengan persyaratan:

menunjukkan bukti kepemilikan atau penguasaan pesawat udara;
menunjukkan bukti penghapusan pendaftaran atau tidak didaftarkan di negara lain;
memenuhi ketentuan persyaratan batas usia pesawat udara yang ditetapkan oleh Menteri;
bukti asuransi pesawat udara; dan
bukti terpenuhinya persyaratan pengadaan pesawat udara.
(2) Pesawat udara yang telah memenuhi persyaratansebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat pendaftaran.

(3) Sertifikat pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 3 (tiga) tahun.



PASAL 27 TANDA KEBANGSAAN
(1)   Pesawat terbang, helikopter, balon udara berpenumpang, dan kapal udara (airship) yang telah mempunyai sertifikat pendaftaran Indonesia diberikan tanda   kebangsaan Indonesia.

(2)   Pesawat terbang, helikopter, balon udara berpenumpang, dan kapal udara yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia wajib dilengkapi dengan bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3)   Pesawat udara selain pesawat terbang, helikopter, jbalon. udara berpenumpang, dan kapal udara dapat dibebaskan dari tanda kebangsaan Indonesia.

(4) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan; dan/atau b. pencabutan sertifikat.


PASAL 28 PELANGGARAN TANDA KEBANGSAAN
(1) Setiap orang dilarang memberikan tanda-tanda atau mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara.

(2) Setiap orang yang mengaburkan identitas tanda pendaftaran   dan   kebangsaan   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif be)rupa: .

peringatan; dan/atau
pencabutan sertifikat.


PASAL 29 PENGHAPUSAN TANDA KEBANGSAAN
Pesawat udara yang telah memiliki tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat dihapus tanda pendaftarannya apabila:

permintaan dari pemilik atau orang perseorangan yang diberi kuasa dengan ketentuan:
1) telah berakhirnya perjanjian sewa guna usaha;

2) diakhirinya perjanjian yang disepakati para pihak;

3) akan dipindahkan pendaftarannya ke negara lain;

4) rusak totalnya pesawat udara akibat kecelakaan;

5) tidak digunakannya lagi pesawat udara;

6) pesawat udara dengan sengaja dirusak atau dihancurkan; atau

7) terjadi cedera janji (wanprestasi) oleh penyewa pesawat udara tanpa putusan pengadilan.



tidak dapat mempertahankan sertifikat kelaikudaraan secara terus-menerus selama 3 (tiga) tahun.


PASAL 30 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.



PASAL 31 PROSES SERTIFIKASI
Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan penghapusan tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pelayanan umum.



PASAL 32 BIAYA
Proses sertifikasi pendaftaran pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dikenakan biaya.



PASAL 33 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur

dalam Peraturan Menteri. l .



BAB VIII KELAIKUDARAAN DAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA
BAGIAN KESATU KELAIKUDARAAN PESAWAT UDARA
PASAL 34 SERTIFIKAT KELAIKAN
(1) Setiap pesawat udara yang dioperasikan wajib memenuhi standar kelaikudaraan.

(2) Pesawat udara yang telah memenuhi standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat kelaikudaraan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian kelaikudaraan.



PASAL 35 JENIS SERTIFIKAT
Sertifikat Kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) terdiri atas:

sertifikat kelaikudaraan standar; dan b. sertifikat kelaikudaraan khusus.


PASAL 36 KATEGORI SERTIFIKAT
Sertifikat kelaikudaraan standar diberikan untuk pesawat terbang kategori transpor, normal, kegunaan (utility), aerobatik, komuter, helikopter kategori normal dan transpor, serta kapal udara dan balon berpenumpang.



PASAL 37 SERTIFIKAT STANDARD
(1) Sertifikat kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 terdiri atas:

sertifikat   kelaikudaraan   standar   pertama   (initial airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat udara pertama kali dioperasikan oleh setiap orang; dan
sertifikat kelaikudaraan standar lanjutan (continous airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat udara setelah sertifikat kelaikudaraan standar pertama dan akan dioperasikan secara terus menerus.


(2) Untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan standar pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pesawat udara harus:

memiliki sertifikat pendaftaran yang berlaku;
melaksanakan proses produksi dari rancang bangun, pembuatan komponen, pengetesan komponen, perakitan, pemeriksaan kualitas, dan pengujian terbang yang memenuhi standar dan sesuai dengan kategori tipe pesawat udara;
telah diperiksa dan dinyatakan sesuai dengan sertifikat tipe atau sertifikat validasi tipe atau sertifikat tambahan validasi Indonesia; dan
memenuhi persyaratan standar kebisingan dan standar emisi gas buang.


(3) Untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan standar lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pesawat udara harus:

memiliki sertifikat pendaftaran yang masih berlaku;
memiliki sertifikat kelaikudaraan yang masih berlaku;
melaksanakan perawatan sesuai dengan stanidar. perawatan yang telah ditetapkan;
telah memenuhi instruksi kelaikudaraan yang diwajibkan (airworthiness directive);
memiliki sertifikat tipe tambahan apabila terdapat penambahan kemampuan pesawat udara;
memenuhi ketentuan pengoperasian; dan
memenuhi ketentuan standar kebisingan dan standar emisi gas buang.


PASAL 38 SERTIFIKAT STANDARD KHUSUS
Sertifikat kelaikudaraan khusus diberikan untuk pesawat udara yang penggunaannya khusus secara terbatas (restricted), percobaan (experimental), dan kegiatan penerbangan yang bersifat khusus.



PASAL 39 SANKSI ADMINISTRATIF
Setiap orang yang melanggar ketentuan standar kelaikudl araan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.


PASAL 40 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KEDUA OPERASI PESAWAT UDARA
PASAL 41 SERTIFIKAT OPERASI
(1)   Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara untuk kegiatan angkutan udara wajib memiliki sertifikat.

(2)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

sertifikat  operator   pesawat   udara   (air operator certificate), yang diberikan kepada badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara niaga; atau
sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating certificate), yang diberikan kepada orang atau badan hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil untuk angkutan udara bukan niaga.
(3)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian serta pemohon mendemonstrasikan kemampuan pengoperasian pesawat udara.



PASAL 42 PERSYARATAN SERTIFIKAT OPERASI
Untuk mendapatkan sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a operator harus:

memiliki izin usaha angkutan udara niaga;
memiliki dan menguasai pesawat udara sesuai dengan
izin usaha yang dimiliki; i

memiliki dan/atau menguasai personel pesawat udara yang kompeten dalam jumlah rasio yang memadai untuk mengoperasikan dan melakukan perawatan pesawat udara;
memiliki struktur organisasi paling sedikit di bidang operasi, perawatan, keselamatan, dan jaminan kendali mutu;
memiliki personel manajemen yang kompeten dengan jumlah memadai;
memiliki dan/atau menguasai fasilitas pengoperasian pesawat udara;
memiliki dan/atau menguasai persediaan suku cadang yang memadai;
memiliki pedoman organisasi pengoperasian (company operation manual) dan pedoman organisasi perawatan (company maintenance manual);
memiliki standar keandalan pengoperasian pesawat udara
(aircraft operating procedures);

memiliki standar perawatan pesawat udara;
memiliki fasilitas dan pedoman pendidikan dan/atau pelatihan   personel   pesawat   udara   (company training
manuals); i .

memiliki sistem jaminan kendali mutu (company quality assurance manuals) untuk mempertahankan kinerja operasi dan teknik secara terus menerus; dan
memiliki     pedoman   sistem   manajemen   keselamatan
(safety management system manual).



PASAL 43 IZIN SERTIFIKAT OPERASI
Untuk memperoleh sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b, operator harus memenuhi persyaratan:

memiliki izin kegiatan angkutan udara bukan niaga;
memiliki dan menguasai pesawat udara sesuai dengan izin kegiatan yang dimiliki;
memiliki dan/atau menguasai personel operasi pesawat udara dan personel ahli perawatan pesawat udara;
memiliki standar pengoperasian pesawat udara; dan e. memiliki standar perawatan pesawat udara.


PASAL 44 SANKSI
Setiap orang yang melanggar ketentuan sertifikat operasi pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 layat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.


PASAL 45 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KETIGA PERAWATAN PESAWAT UDARA


PASAL 46 PEWARATAN PESAWAT UDARA
(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib merawat pesawat udara, mesin pesawat udara, baling- baling pesawat terbang, dan komponennya untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan secara berkelanjutan.

(2) Dalam perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponennya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang harus membuat program perawatan pesawat udara yang disahkan oleh Menteri.



PASAL 47 KEWENANGAN PEWARATAN PESAWAT UDARA
(1) Perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling- baling pesawat terbang dan komponennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya dapat dilakukan oleh:

perusahaan angkutan udara yang telah memiliki sertifikat operator pesawat udara;
badan hukum organisasi perawatan pesawat udara yang telah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara (approved maintenance organization); atau
personel ahli perawatan pesawat udara yang telah memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara (aircraft
maintenance engineer license). l



(2) Sertifikat   organisasi   perawatan   pesawat   udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan lisensi ahli perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan setelah lulus pemeriksaan dan pengujian.





PASAL 48 PERSAYARATAN ORGANISASI
Untuk mendapatkan sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan:

memiliki atau menguasai fasilitas dan peralatan pendukung perawatan secara berkelanjutan;
memiliki atau menguasai personel yang telah mempunyai lisensi ahli perawatan pesawat udara sesuai dengan lingkup pekerjaannya;
memiliki pedoman perawatan dan pemeriksaaan;
memiliki   pedoman   perawatan   dan   pemeriksaan (maintenance manuals) terkini yang dikeluarkan oleh pabrikan sesuai dengan jenis pesawat udara yang dioperasikan;
memiliki pedoman jaminan mutu (quality assurance manuals) untuk menjamin dan mempertahan kinerja perawatan pesawat udara, mesin, baling-baling, dan komponen secara berkelanjutan;
memiliki     atau     menguasai     suku     cadang     untuk mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan berkelanjutan; dan
memiliki pedoman sistem manajemen keselamatan.


PASAL 49 PERSAYARATAN ORGANISASI ASING
Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan negara yang bersangkutan.



PASAL 50 SANKSI
Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat udara   sebagaimana dimaksud   dalam   Pasal 47 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

pembekuan sertifikat; dan/atau b. pencabutan sertifikat.


PASAL 51 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KEEMPAT KESELAMATAN DAN KEAMANAN DALAM PESAWAT UDARA SELAMA PENERBANGAN


PASAL 52 BANDAR UDARA OPERASI
(1)   Setiap pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia hanya dapat mendarat atau lepas landas dari bandar udara yang ditetapkan untuk itu.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam keadaan darurat.

(3) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.


PASAL 53 KETENUAN PENGOPERASIAN PESAWAT
(1) Setiap orang dilarang menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk atau mengganggu keamanan dan ketertiban umum atau merugikan harta benda milik orang lain.

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

pembekuan sertifikat; dan/atau b. pencabutan sertifikat.


PASAL 54 PERATURAN DI DALAM PESAWAT SELAMA PENERBANGAN
Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan:

perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan;
pelanggaran tata tertib dalam penerbangan;
pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan;
perbuatan asusila;
perbuatan yang mengganggu ketenteraman; atau
pengoperasian peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan.


PASAL 55 WEWENANG KAPTEN PEREBANG
Selama terbang, kapten penerbang pesawat udara yang bersangkutan mempunyai wewenang mengambil tindakan untuk menjamin keselamatan, ketertiban, dan keamanan penerbangan.



PASAL 56 PENUMPANG PADA PINTU DAN JENDELA DARURAT
(1) Dalam penerbangan dilarang menempatkan penumpang yang tidak mampu melakukan tindakan darurat pada pintu dan jendela darurat pesawat udara.

(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.


PASAL 57 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan dalam pesawat udara, kewenangan kapten penerbang selama penerbangan, dan pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KELIMA PERSONEL PESAWAT UDARA


PASAL 58 SERTIFIKAT PERSONEL
(1)   Setiap personel pesawat udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.

(2) Personel pesawat udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian pesawat udara wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.

(3)   Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:

administratif;
sehat jasmani dan rohani;
memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan d. lulus ujian.
(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi.



PASAL 59 KEWAJIBAN DAN SANKSI PERSONEL YANG BERLISENSI
(1)   Personel pesawat udara yang telah memiliki lisensi wajib:

melaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya;
mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan
melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.
(2) Personel pesawat udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan lisensi; dan/atau c. pencabutan lisensi.


PASAL 60 LISENSI NEGARA LAIN
Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara lain dapat diakui melalui proses pengesahan oleh Menteri.



PASAL 61 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KEENAM ASURANSI DALAM PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA


PASAL 62 ASURANSI
(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib mengasuransikan:

pesawat udara yang dioperasikan;
personel pesawat udara yang dioperasikan;
tanggung jawab kerugian pihak kedua;
tanggung jawab kerugian pihak ketiga; dan
kegiatan investigasi insiden dan kecelakaan pesawat udara.


(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib asuransi dalam pengoperasian pesawat udara dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KETUJUH PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA


PASAL 63 PENGOPERASIAN PESAWAT DI WILAYAH UDARA INDONESIA
(1)   Pesawat udara yang dapat dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya pesawat udara Indonesia.

(2)   Dalam keadaan tertentu dan dalam waktu terbatas pesawat udara asing dapat dioperasikan setelah mendapat izin dari Menteri.

(3) Pesawat udara sipil asing dapat dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara nasional untuk penerbangan ke dan dari luar negeri setelah adanya perjanjian antarnegara.

(4) Pesawat udara sipil asing yang akan dioperasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan kelaikudaraan.

(5) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian pesawat udara sipil dan pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.



PASAL 64 PROSES SERTIFIKASI
Proses sertifikasi kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2), sertifikasi operator pesawat udara dan sertifikasi pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, sertifikasi organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, dan lisensi personel pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58   ayat   (1)   dilaksanakan   oleh   lembaga   penyelenggara pelayanan umum.



PASAL 65 BIAYA PROSES SERTIFIKASI
Proses sertifikasi dan lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dikenakan biaya.



PASAL 66 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyelenggara pelayanan umum, serta proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Menteri.





BAGIAN KEDELAPAN PESAWAT UDARA NEGARA


PASAL 67 KETENTUAN RANCANG BANGING DAN TANDA IDENTITIAS
(1) Setiap pesawat udara negara yang dibuat dan dioperasikan harus memenuhi standar rancang bangun, produksi, dan kelaikudaraan.

(2)   Pesawat udara negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki tanda identitas.



PASAL 68 PESAWAT NEGARA UNTUK KEPERLUAN ANGKUTAN SIPIL
Dalam keadaan tertentu pesawat udara negara dapat dipergunakan untuk keperluan angkutan udara sipil dan sebaliknya.



PASAL 69 PENGGUNAAN PESAWAT ASING
Penggunaan pesawat udara negara asing untuk kegiatan angkutan udara dari dan ke atau melalui wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Pemerintah.



PASAL 70 KETENTUAN LANJUTAN
Ketentuan lebih lanjut mengenai pesawat udara negara diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB IX KEPENTINGAN INTERNASIONAL ATAS OBJEK PESAWAT UDARA


PASAL 71 KEPENTINGAN INTERNASIONAL
Objek pesawat udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat, dan/atau perjanjian sewa guna usaha.



PASAL 72 DASAR HUKUM
Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dapat dibuat berdasarkan hukum yang dipilih oleh para pihak pada perjanjian tersebut.



PASAL 73 PERJANJIAN DENGAN AKTA OTENTIK
Dalam hal perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 tunduk pada hukum Indonesia, perjanjian tersebut harus dibuat dalam akta otentik yang paling sedikit memuat:

identitas para pihak;
identitas dari objek pesawat udara; dan c. hak dan kewajiban para pihak.


PASAL 74 DEREGISTRASI
(1) Debitur dapat menerbitkan kuasa memohon deregistrasi kepada kreditur untuk memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor atas pesawat terbang atau helikopter yang telah memperoleh tanda pendaftaran Indonesia dan tanda kebangsaan Indonesia.

(2)   Kuasa   memohon   deregistrasi   sebagaimana   dimaksud pada ayat (1) harus diakui dan dicatat oleh Menteri dan tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan kreditur.

(3)   Kuasa   memohon   deregistrasi   sebagaimana   dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku pada saat debitur dinyatakan pailit atau berada dalam keadaan tidak mampu membayar utang.

(4)   Kreditur merupakan satu-satunya pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan penghapusan pendaftaran pesawat terbang atau helikopter tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam kuasa memohon deregistrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).



PASAL 75 PENGHAPUSAN PENDAFTARAN
(1) Dalam hal debitur cedera janji, kreditur dapat mengajukan permohonan kepada Menteri sesuai dengan kuasa memohon deregistrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 untuk meminta penghapusan pendaftaran dan ekspor pesawat terbang atau helikopter.

(2) Berdasarkan   permohonan   kreditur   sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri wajib menghapus tanda pendaftaran dan kebangsaan pesawat terbang atau helikopter paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima.





PASAL 76 KEMENTRIAN TERKAIT
Kementerian yang membidangi urusan penerbangan dan instansi pemerintah lainnya harus membantu dan memperlancar pelaksanaan upaya pemulihan yang dilakukan oleh kreditur berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71.



PASAL 77 HAK KREDITUR
Hak-hak kreditur dan upaya pemulihan timbul pada saat ditandatanganinya perjanjian oleh para pihak.



PASAL 78 KEPENTINGAN INTERNASIONAL
Kepentingan internasional, termasuk setiap pengalihan dan/atau subordinasi dari kepentingan tersebut, memperoleh prioritas pada saat kepentingan tersebut didaftarkan pada kantor pendaftaran internasional.



PASAL 79 CEDERA JANJI
(1) Dalam hal debitur cedera janji, kreditur dapat meminta penetapan dari pengadilan negeri untuk memperoleh tindakan sementara berdasarkan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 tanpa didahului pengajuan gugatan pada pokok perkara untuk melaksanakan tuntutannya di Indonesia dan tanpa para pihak mengikuti mediasi yang diperintahkan oleh pengadilan.



(2)   Penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana dinyatakan dalam deklarasi yang dibuat oleh Pemerintah sehubungan dengan konvensi dan protokol tersebut.



PASAL 80 PENGADILAN
Pengadilan, kurator, pengurus kepailitan, dan/atau debitur harus menyerahkan penguasaan objek pesawat udara kepada kreditur yang berhak dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah.



PASAL 81 TAGIHAN
Tagihan-tagihan tertentu memiliki prioritas terhadap tagihan dari pemegang kepentingan internasional yang terdaftar atas objek pesawat udara.



PASAL 82 KONVENSI INTERNASIONAL
Ketentuan dalam konvensi internasional mengenai kepentingan internasional dalam peralatan bergerak dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan pesawat udara, di mana Indonesia merupakan pihak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia dan merupakan ketentuan hukum khusus (lex specialis).



BAB X ANGKUTAN UDARA




BAGIAN KESATU JENIS ANGKUTAN UDARA


PARAGRAF 1 ANGKUTAN UDARA NIAGA


PASAL 83


(1)   Kegiatan angkutan udara terdiri atas:

angkutan udara niaga; dan
angkutan udara bukan niaga.


(2)   Angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a terdiri atas:

angkutan udara niaga dalam negeri; dan b. angkutan udara niaga luar negeri.


(3) Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   huruf a dapat dilakukan secara berjadwal dan/atau tidak berjadwal oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional dan/atau asing untuk mengangkut penumpang dan kargo atau khusus mengangkut kargo.



PASAL 84


Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga.







PASAL 85


(1)   Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga berjadwal.



(2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah mendapat persetujuan dari Menteri.



(3)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan udara niaga nasional.



(4) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih dilayani   oleh   badan   usaha   angkutan   udara   niaga berjadwal lainnya.



PASAL 86


(1)   Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal luar negeri dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dan/atau perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing untuk mengangkut penumpang dan kargo berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral.



(2) Dalam hal angkutan udara niaga berjadwal luar negeri merupakan bagian dari perjanjian multilateral yang bersifat multisektoral, pelaksanaan angkutan udara niaga berjadwal luar negeri tetap harus diatur melalui perjanjian bilateral.



(3) Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan (fairness) dan timbal balik (reciprocity).







(4) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan badan usaha angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Republik Indonesia dan mendapat persetujuan dari negara asing yang bersangkutan.



(5) Perusahaan angkutan udara niaga berjadwal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.



PASAL 87


(1) Dalam hal Indonesia melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara asing, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan perjanjian bilateral dengan masing-masing negara anggota komunitas tersebut.



(2) Dalam hal Indonesia sebagai anggota dari suatu organisasi komunitas negara yang melakukan perjanjian plurilateral mengenai angkutan udara dengan suatu organisasi komunitas negara lain, pelaksanaan perjanjian dilakukan berdasarkan ketentuan yang disepakati dalam perjanjian tersebut.



PASAL 88


(1) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerja sama angkutan udara dengan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional lainnya untuk melayani angkutan dalam negeri dan/atau luar negeri.



(2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan udara asing untuk melayani angkutan udara luar negeri.



PASAL 89


(1)   Perusahaan   angkutan  udara   niaga   berjadwal   asing khusus mengangkut kargo dapat menurunkan dan menaikkan kargo di wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak.





(2) Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik.



(3)   Perusahaan   angkutan   udara   niaga   berjadwal   asing khusus mengangkut kargo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan perusahaan angkutan udara niaga yang telah ditunjuk oleh negara yang bersangkutan dan mendapat persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.



PASAL 90


(1) Pembukaan pasar angkutan udara menuju ruang udara tanpa batasan hak angkut udara (open sky) dari dan ke Indonesia untuk perusahaan angkutan udara niaga asing dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral dan pelaksanaannya melalui mekanisme yang mengikat para pihak.



(2) Perjanjian bilateral atau multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mempertimbangkan kepentingan nasional berdasarkan prinsip keadilan dan timbal balik.



PASAL 91


(1)   Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah mendapat izin usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal.



(2) Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan persetujuan terbang (flight approval).



(3)   Badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan Menteri.





(4) Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau badan usaha angkutan udara niaga nasional.



(5) Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menyebabkan terganggunya pelayanan angkutan udara pada rute yang masih dilayani oleh badan usaha   angkutan udara   niaga berjadwal lainnya.



PASAL 92


Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal dapat berupa:

rombongan tertentu yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama bukan untuk tujuan wisata (affinity group);
kelompok penumpang yang membeli seluruh atau sebagian kapasitas pesawat untuk melakukan paket perjalanan termasuk pengaturan akomodasi dan transportasi lokal (inclusive tour charter);
seseorang yang membeli seluruh kapasitas pesawat udara untuk kepentingan sendiri (own use charter);
taksi udara (air taxi); atau
kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya.


PASAL 93


(1)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Menteri.



(2)   Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga asing wajib mendapatkan persetujuan terbang dari Menteri   setelah   mendapat   persetujuan   dari   menteri terkait.



PASAL 94


(1)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari wilayah Indonesia, kecuali penumpangnya sendiri yang diturunkan pada penerbangan sebelumnya (in-bound traffic).



(2)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif.



(3) Prosedur dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak.



PASAL 95


(1)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melayani rute ke Indonesia dilarang mengangkut kargo dari wilayah Indonesia, kecuali dengan izin Menteri.



(2)   Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal asing khusus pengangkut kargo yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif.



(3)   Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penerimaan negara bukan pajak.



Pasal 96



Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga, kerja sama angkutan udara   dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.







PARAGRAF 2 PELAYANAN ANGKUTAN UDARA NIAGA BERJADWAL


PASAL 97


(1) Pelayanan yang diberikan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat dikelompokkan paling sedikit dalam:

pelayanan dengan standar maksimum (full services);
pelayanan dengan standar menengah (medium services); atau
pelayanan dengan standar minimum (no frills).




(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah bentuk pelayanan maksimum yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan sesuai dengan jenis kelas pelayanan penerbangan.



(3)   Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah bentuk pelayanan sederhana yang diberikan kepada penumpang selama penerbangan.



(4) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah   bentuk   pelayanan   minimum   yang   diberikan kepada penumpang selama penerbangan.



(5) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam menetapkan   kelas   pelayanan   sebagaimana   dimaksud pada ayat (1) harus memberitahukan kepada pengguna jasa tentang kondisi dan spesifikasi pelayanan yang disediakan.



PASAL 98


(1) Badan usaha angkutan udara   niaga berjadwal yang pelayanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b dan huruf c   merupakan badan usaha yang berbasis biaya operasi rendah.



(2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar keselamatan dan keamanan penerbangan.



PASAL 99


(1) Badan usaha angkutan udara   niaga berjadwal yang berbasis biaya operasi rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 harus mengajukan permohonan izin kepada Menteri.



(2)   Menteri menetapkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan.



(3) Terhadap badan usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan evaluasi secara periodik.







PASAL 100


Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan Menteri.







PARAGRAF 3 ANGKUTAN UDARA BUKAN NIAGA


PASAL 101


(1)   Kegiatan angkutan udara bukan niaga dapat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, lembaga tertentu, orang perseorangan, dan/atau badan usaha Indonesia lainnya.



(2)   Kegiatan angkutan udara bukan niaga berupa:

angkutan udara untuk kegiatan keudaraan (aerial work);
angkutan udara untuk kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan personel pesawat udara; atau
angkutan udara bukan niaga lainnya yang kegiatan pokoknya bukan usaha angkutan udara niaga.


PASAL 102


(1) Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga dilarang melakukan kegiatan angkutan udara niaga, kecuali atas izin Menteri.



(2)   Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan     kepada pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga untuk melakukan kegiatan angkutan penumpang dan barang pada daerah tertentu, dengan memenuhi persyaratan tertentu, dan bersifat sementara.



(3)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa :

peringatan;
penbekuan izin; dan/atau c. pencabutan izin.




PASAL 103


Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan udara bukan niaga, tata   cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.





PARAGRAF 4 ANGKUTAN UDARA PERINTIS


PASAL 104


(1) Angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha   angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah.



(2) Dalam penyelenggaraan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kompensasi lainnya.



(3) Angkutan udara perintis dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah.



(4)   Angkutan   udara   perintis   dievaluasi oleh Pemerintah setiap tahun.



(5)   Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengubah suatu rute angkutan udara perintis menjadi rute komersial.



PASAL 105


Dalam keadaan tertentu angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.



PASAL 106


(1) Badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 diberi kompensasi untuk menjamin kelangsungan pelayanan angkutan udara perintis sesuai dengan rute dan jadwal yang telah ditetapkan.







(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

pemberian rute lain di luar rute perintis bagi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal untuk mendukung kegiatan angkutan udara perintis;
bantuan biaya operasi angkutan udara; dan/atau c. bantuan biaya angkutan bahan bakar minyak.


(3) Pelaksana kegiatan angkutan udara perintis dikenakan sanksi administratif berupa tidak diperkenankan mengikuti pelelangan tahun berikutnya dalam hal tidak melaksanakan kegiatan sesuai dengan kontrak pekerjaan tahun berjalan.



PASAL 107


Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara perintis diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KEDUA PERIZINAN ANGKUTAN UDARA


PARAGRAF 1 PERIZINAN ANGKUTAN UDARA NIAGA


PASAL 108


(1) Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a dilakukan oleh badan usaha di bidang angkutan udara niaga nasional.



(2) Badan usaha angkutan udara niaga nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seluruh atau sebagian besar modalnya, harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.



(3) Dalam hal modal badan usaha angkutan udara niaga nasional yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbagi atas beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemilik modal asing (single majority).





PASAL 109


(1) Untuk mendapatkan izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, paling sedikit harus memenuhi persyaratan:

akta pendirian badan usaha Indonesia yang usahanya bergerak di bidang angkutan udara niaga berjadwal atau angkutan udara niaga tidak berjadwal dan disahkan oleh Menteri yang berwenang;
nomor pokok wajib pajak (NPWP);
surat   keterangan   domisili   yang   diterbitkan   oleh instansi yang berwenang;
surat persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal apabila yang bersangkutan menggunakan fasilitas penanaman modal;
tanda bukti modal yang disetor;
garansi/jaminan bank; dan
rencana bisnis untuk kurun waktu paling singkat 5 (lima) tahun.


(2)   Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diserahkan dalam bentuk salinan yang telah dilegalisasi oleh instansi yang mengeluarkan, dan dokumen aslinya ditunjukkan kepada Menteri.



PASAL 110


(1) Rencana bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf g paling sedikit memuat:

jenis   dan   jumlah   pesawat   udara   yang   akan dioperasikan;
rencana pusat kegiatan operasi penerbangan dan rute penerbangan bagi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal;
rencana pusat kegiatan operasi penerbangan bagi badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal;
aspek pemasaran dalam bentuk potensi permintaan pasar angkutan udara;
sumber daya manusia yang terdiri dari manajemen, teknisi, dan personel pesawat udara;
kesiapan atau kelayakan operasi; dan
analisis dan evaluasi aspek ekonomi dan keuangan.




(2) Penentuan dan penetapan lokasi pusat kegiatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan   oleh   Menteri   paling   sedikit   dengan mempertimbangkan:

rencana tata ruang nasional;
pertumbuhan kegiatan ekonomi; dan
keseimbangan   jaringan   dan   rute   penerbangan nasional.


PASAL 111


(1)   Orang   perseorangan   dapat   diangkat   menjadi   direksi badan usaha   angkutan udara niaga, dengan memenuhi persyaratan:

memiliki   kemampuan   operasi   dan   manajerial pengelolaan usaha angkutan udara niaga;
telah dinyatakan lulus uji kepatutan dan uji kelayakan oleh Menteri;
tidak pernah terlibat tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang terkait dengan penyelenggaraan angkutan udara; dan
pada saat memimpin badan usaha angkutan udara niaga, badan usahanya tidak pernah dinyatakan pailit sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi direktur utama badan usaha angkutan udara niaga.



PASAL 112


(1) Izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) berlaku selama pemegang izin masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan izin yang diberikan.



(2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.



(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai pertimbangan untuk tetap diperbolehkan menjalankan kegiatan usahanya.





PASAL 113


(1)   Izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain sebelum melakukan kegiatan usaha angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara sesuai dengan izin usaha yang diberikan.



(2)   Pemindahtanganan izin usaha angkutan udara niaga hanya dapat dilakukan setelah pemegang izin usaha beroperasi dan mendapatkan persetujuan Menteri.



(3)   Pemegang   Izin   usaha   angkutan   udara   niaga   yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin.



PASAL 114


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin usaha angkutan udara niaga dan pengangkatan direksi perusahaan angkutan udara niaga diatur dengan Peraturan Menteri.





PARAGRAF 2 PERIZINAN ANGKUTAN UDARA BUKAN NIAGA


PASAL 115


(1) Kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b dilakukan setelah memperoleh izin dari Menteri.



(2)   Untuk mendapatkan izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha Indonesia, dan lembaga tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memiliki:

persetujuan dari instansi yang membina kegiatan pokoknya;
akta pendirian badan usaha atau lembaga yang telah disahkan oleh menteri yang berwenang;
nomor pokok wajib pajak (NPWP);
surat keterangan domisili tempat kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
rencana kegiatan angkutan udara.




(3)   Untuk mendapatkan izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang digunakan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memiliki:

tanda bukti identitas diri yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
nomor pokok wajib pajak (NPWP);
surat keterangan domisili tempat kegiatan yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang; dan
rencana kegiatan angkutan udara.


(4)   Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, serta ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c diserahkan dalam bentuk salinan yang telah dilegalisasi oleh instansi yang mengeluarkan dan dokumen aslinya ditunjukkan kepada Menteri.



(5) Rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

huruf e dan ayat (3) huruf d paling sedikit memuat:

jenis dan jumlah pesawat udara yang akan dioperasikan;
pusat kegiatan operasi penerbangan;
sumber daya manusia yang terdiri atas teknisi dan personel pesawat udara; serta
kesiapan serta kelayakan operasi.


PASAL 116


(1) Izin kegiatan angkutan udara bukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 berlaku selama pemegang izin masih menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan pesawat udara.



(2)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.



(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai pertimbangan untuk tetap diperbolehkan menjalankan kegiatannya.





PASAL 117


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diatur dengan Peraturan Menteri.





PARAGRAF 3 KEWAJIBAN PEMEGANG IZIN ANGKUTAN UDARA


PASAL 118


(1)   Pemegang izin usaha angkutan udara niaga wajib:

melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata paling   lambat   12   (dua   belas)   bulan   sejak   izin diterbitkan dengan mengoperasikan minimal jumlah pesawat udara yang dimiliki dan dikuasai sesuai dengan lingkup usaha atau kegiatannya;
memiliki dan menguasai pesawat udara dengan jumlah tertentu;
mematuhi ketentuan wajib angkut, penerbangan sipil, dan ketentuan lain sesuai dengan peraturan perundang–undangan;
menutup asuransi tanggung jawab pengangkut dengan nilai pertanggungan sebesar santunan penumpang angkutan udara niaga yang dibuktikan dengan perjanjian penutupan asuransi;
melayani   calon   penumpang   secara   adil   tanpa diskriminasi atas dasar suku, agama, ras, antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial;
menyerahkan   laporan   kegiatan   angkutan   udara, termasuk keterlambatan dan pembatalan penerbangan, setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri;
menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar yang sekurang-kurangnya memuat neraca, laporan rugi laba, arus kas, dan rincian biaya, setiap tahun paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya kepada Menteri;
melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab atau pemilik badan usaha angkutan udara niaga, domisili badan usaha angkutan udara niaga dan pemilikan pesawat udara kepada Menteri; dan
memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.


(2) Pesawat udara dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk:

angkutan   udara   niaga   berjadwal   memiliki   paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 5 (lima) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute yang dilayani;
angkutan udara niaga tidak berjadwal memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan daerah operasi yang dilayani; dan
angkutan udara niaga khusus mengangkut kargo memiliki paling sedikit 1 (satu) unit pesawat udara dan menguasai paling sedikit 2 (dua) unit pesawat udara dengan jenis yang mendukung kelangsungan usaha sesuai dengan rute atau daerah operasi yang dilayani.


(3)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha, dan lembaga tertentu diwajibkan:

mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;
mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku;
menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri; dan
melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili kantor pusat kegiatan kepada Menteri.


(4)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang dilakukan oleh orang perseorangan diwajibkan:

mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12 (dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;
mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan sipil dan peraturan perundang-undangan lain;
menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya kepada Menteri; dan


melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau domisili pemegang izin kegiatan kepada Menteri.


PASAL 119


(1) Pemegang izin usaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang tidak melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, ayat (3) huruf a, dan ayat (4) huruf a, izin usaha angkutan udara niaga atau izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang diterbitkan tidak berlaku dengan sendirinya.



(2)   Pemegang   izin   usaha   angkutan   udara   niaga   yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

118 ayat (1) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin serta denda.



(3) Pemegang izin usaha angkutan udara niaga dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

118 ayat (1) huruf d dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.



(4)   Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

118 ayat (3) huruf b dan ayat (4) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin serta denda.



PASAL 120


Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang izin angkutan udara, persyaratan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Menteri.



PASAL 121


(1) Badan usaha angkutan udara niaga nasional dan perusahaan angkutan udara asing yang melakukan kegiatan angkutan udara ke dan dari wilayah Indonesia wajib menyerahkan data penumpang pra kedatangan atau keberangkatan (pre-arrival or pre-departure passengers information).



(2) Data penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan sebelum kedatangan atau keberangkatan pesawat udara kepada petugas yang berwenang di bandar udara kedatangan atau keberangkatan di Indonesia.



(3) Data penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

paling sedikit memuat keterangan:

nama lengkap penumpang sesuai dengan paspor;
jenis kelamin;
kewarganegaraan;
nomor paspor;
tanggal lahir;
asal dan tujuan akhir penerbangan;
nomor kursi; dan h. nomor bagasi.


BAGIAN KETIGA JARINGAN DAN RUTE PENERBANGAN


PASAL 122


(1) Jaringan dan rute penerbangan dalam negeri untuk angkutan udara niaga berjadwal ditetapkan oleh Menteri.



(2)  Jaringan dan rute penerbangan luar negeri   ditetapkan oleh Menteri berdasarkan perjanjian angkutan udara antarnegara.



PASAL 123


(1) Jaringan dan rute penerbangan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan:

permintaan jasa angkutan udara;
terpenuhinya persyaratan teknis operasi penerbangan;
fasilitas bandar udara yang sesuai dengan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan;
terlayaninya semua daerah yang memiliki bandar udara;
pusat kegiatan operasi penerbangan masing-masing badan usaha angkutan udara niaga berjadwal; serta
keterpaduan rute dalam negeri dan luar negeri.


(2)   Jaringan dan rute penerbangan luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) ditetapkan dengan mempertimbangkan:

kepentingan nasional;
permintaan jasa angkutan udara;
pengembangan pariwisata;
potensi industri dan perdagangan;
potensi ekonomi daerah; dan
keterpaduan intra dan antarmoda.


PASAL 124


(1) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal nasional dapat mengajukan rute penerbangan baru dalam negeri dan/atau luar negeri kepada Menteri.



(2) Menteri melakukan evaluasi pengajuan dan menetapkan rute penerbangan baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).



PASAL 125


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan serta pemanfaatan jaringan dan rute penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KEEMPAT TARIF


PASAL 126


(1)   Tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan kargo.



(2)   Tarif angkutan penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas golongan tarif pelayanan kelas ekonomi dan non-ekonomi.



(3) Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan komponen:

tarif jarak;
pajak;
iuran wajib asuransi; dan
biaya tuslah/tambahan (surcharge).


PASAL 127


(1)   Hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

126 ayat (3) merupakan batas atas tarif penumpang

pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri.



(2) Tarif batas atas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan   oleh   Menteri   dengan   mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen dan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari persaingan tidak sehat.



(3)   Tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   harus dipublikasikan kepada konsumen.



(4)   Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri   dilarang   menjual   harga   tiket   kelas   ekonomi melebihi tarif batas atas yang ditetapkan Menteri.



(5)   Badan usaha angkutan udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa sanksi peringatan dan/atau pencabutan izin rute penerbangan.



PASAL 128


(1)   Tarif penumpang pelayanan non-ekonomi angkutan udara niaga berjadwal dan angkutan kargo berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan mekanisme pasar.



(2) Tarif angkutan udara niaga untuk penumpang dan angkutan kargo tidak berjadwal dalam negeri ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan.



PASAL 129


Tarif penumpang angkutan udara niaga dan angkutan kargo berjadwal luar negeri ditetapkan dengan berpedoman pada hasil perjanjian angkutan udara bilateral atau multilateral.



PASAL 130


Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara perintis serta tata cara dan prosedur   pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KELIMA KEGIATAN USAHA PENUNJANG ANGKUTAN UDARA


PASAL 131


(1)   Untuk menunjang kegiatan angkutan udara niaga, dapat dilaksanakan kegiatan usaha penunjang angkutan udara.



(2)   Kegiatan usaha penunjang angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari Menteri.



Pasal 132



Untuk mendapatkan izin usaha penunjang angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) wajib memenuhi persyaratan memiliki:

akta pendirian badan usaha yang telah disahkan oleh menteri yang berwenang dan salah satu usahanya bergerak di bidang penunjang angkutan udara;
nomor pokok wajib pajak (NPWP);
surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang;
surat persetujuan dari badan koordinasi penanaman modal atau badan koordinasi penanaman modal daerah apabila menggunakan fasilitas penanaman modal;
tanda bukti modal yang disetor;
garansi/jaminan bank; serta
kelayakan teknis dan operasi.


PASAL 133


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur pemberian izin kegiatan usaha penunjang angkutan udara diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KEENAM PENGANGKUTAN UNTUK PENYANDANG CACAT, LANJUT USIA, ANAK–ANAK, DAN/ATAU ORANG SAKIT


PASAL 134


(1) Penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak di bawah usia

12 (dua belas) tahun, dan/atau orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas

khusus dari badan usaha angkutan udara niaga.



(2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

pemberian prioritas tambahan tempat duduk;
penyediaan fasilitas kemudahan untuk naik ke dan turun dari pesawat udara;
penyediaan fasilitas untuk penyandang cacat selama berada di pesawat udara;
sarana bantu bagi orang sakit;
penyediaan fasilitas untuk anak-anak selama berada di pesawat udara;
tersedianya   personel   yang  dapat   berkomunikasi dengan penyandang cacat, lanjut usia, anak-anak, dan/atau orang sakit; dan
tersedianya buku petunjuk tentang keselamatan dan keamanan penerbangan bagi penumpang pesawat udara dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, lanjut usia, dan orang sakit.


(3) Pemberian perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipungut biaya tambahan.



PASAL 135


Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KETUJUH PENGANGKUTAN BARANG KHUSUS DAN BERBAHAYA


PASAL 136


(1) Pengangkutan barang khusus dan berbahaya wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan.



(2)   Barang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa barang yang karena sifat, jenis, dan ukurannya memerlukan penanganan khusus.



(3) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk bahan cair, bahan padat, atau bahan gas yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan jiwa, dan harta benda, serta keselamatan dan keamanan penerbangan.



(4) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

diklasifikasikan sebagai berikut:

bahan peledak (explosives);
gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquified or dissolved under pressure);
cairan mudah menyala atau terbakar (flammable liquids);
bahan   atau   barang   padat   mudah   menyala   atau terbakar (flammable solids);
bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances);
bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances);
bahan atau barang radioaktif (radioactive material);
bahan atau barang perusak (corrosive substances);
cairan, aerosol, dan jelly (liquids, aerosols, and gels)
dalam jumlah tertentu; atau

bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances).


(5) Badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.





PASAL 137


Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.



PASAL 138


(1) Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau pengirim yang menyerahkan barang khusus dan/atau berbahaya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada pengelola pergudangan dan/atau badan usaha angkutan udara sebelum dimuat ke dalam pesawat udara.



(2) Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan pengangkutan barang khusus dan/atau barang berbahaya wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut belum dimuat ke dalam pesawat udara.



(3) Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan dan/atau pencabutan izin.



PASAL 139


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara prosedur pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KEDELAPAN TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT


PARAGRAF 1 WAJIB ANGKUT


PASAL 140


(1) Badan usaha angkutan udara niaga wajib mengangkut orang dan/atau kargo, dan pos setelah disepakatinya perjanjian pengangkutan.



(2) Badan usaha angkutan udara niaga wajib memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa angkutan udara sesuai dengan perjanjian pengangkutan yang disepakati.



(3)   Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat   (1)   dibuktikan   dengan   tiket   penumpang   dan dokumen muatan.







PARAGRAF 2 TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP PENUMPANG DAN/ATAU PENGIRIM KARGO


PASAL 141


(1)  Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.



(2) Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab     atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.



(3)   Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.





PASAL 142


(1)   Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara.



(2) Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung.



PASAL 143


Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya.



PASAL 144


Pengangkut   bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.



PASAL 145


Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.



PASAL 146


Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.



PASAL 147


(1) Pengangkut bertanggung jawab atas tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara.





(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberikan kompensasi kepada penumpang berupa:

mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan; dan/atau
memberikan   konsumsi,   akomodasi,   dan   biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan.


PASAL 148


Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 141 sampai dengan Pasal 147 tidak berlaku untuk:

angkutan pos;
   angkutan penumpang dan/atau kargo yang dilakukan oleh pesawat udara negara; dan
angkutan udara bukan niaga.


PASAL 149


Ketentuan lebih lanjut mengenai batas waktu keterlambatan angkutan udara diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.







PARAGRAF 3 DOKUMEN ANGKUTAN PENUMPANG, BAGASI, DAN KARGO


PASAL 150


Dokumen angkutan udara terdiri atas:

tiket penumpang pesawat udara;
pas masuk pesawat udara (boarding pass);
tanda pengenal bagasi (baggage identification/claim tag);
dan

surat muatan udara (airway bill).


PASAL 151


(1)   Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif.



(2) Tiket penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

paling sedikit memuat:



nomor, tempat, dan tanggal penerbitan;
nama penumpang dan nama pengangkut;
tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan;
nomor penerbangan;
tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada; dan
pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.


(3)   Yang berhak menggunakan tiket penumpang adalah orang yang namanya tercantum dalam tiket yang dibuktikan dengan dokumen identitas diri yang sah.



(4) Dalam hal tiket tidak diisi keterangan-keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.



PASAL 152


(1)   Pengangkut   harus menyerahkan pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf b kepada penumpang.



(2)   Pas masuk pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

nama penumpang;
rute penerbangan;
nomor penerbangan;
tanggal dan jam keberangkatan;
nomor tempat duduk;
pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat udara
(boarding gate); dan

waktu masuk pesawat udara (boarding time).


PASAL 153


(1) Pengangkut wajib menyerahkan tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf c kepada penumpang.



(2) Tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

nomor tanda pengenal bagasi;
kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan; dan c. berat bagasi.
(3)   Dalam hal tanda pengenal bagasi tidak diisi keterangan- keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hilang, atau tidak diberikan oleh pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.



PASAL 154


Tiket penumpang dan tanda pengenal bagasi dapat disatukan dalam satu dokumen angkutan udara.



PASAL 155


(1) Surat muatan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

150 huruf d wajib dibuat oleh pengirim kargo.



(2) Surat muatan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

paling sedikit memuat:

tanggal dan tempat surat muatan udara dibuat;
tempat pemberangkatan dan tujuan;
nama dan alamat pengangkut pertama;
nama dan alamat pengirim kargo;
nama dan alamat penerima kargo;
jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa, atau nomor kargo yang ada;
jumlah, berat, ukuran, atau besarnya kargo;
jenis atau macam kargo yang dikirim; dan
pernyataan bahwa pengangkutan kargo ini tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.


(3) Penyerahan surat muatan udara oleh pengirim kepada pengangkut membuktikan kargo telah diterima oleh pengangkut dalam keadaan sebagaimana tercatat dalam surat muatan udara.



(4) Dalam hal surat muatan udara tidak diisi keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak diserahkan kepada pengangkut, pengangkut tidak berhak menggunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.



PASAL 156


(1) Surat muatan udara wajib dibuat sekurang-kurangnya rangkap 3 (tiga), lembar asli diserahkan pada saat pengangkut menerima barang untuk diangkut.



(2) Pengangkut wajib menandatangani surat muatan udara sebelum barang dimuat ke dalam pesawat udara.



PASAL 157


Surat muatan udara tidak dapat diperjualbelikan atau dijadikan jaminan kepada orang lain dan/atau pihak lain.



PASAL 158


Pengangkut   wajib memberi prioritas pengiriman dokumen penting yang bersifat segera serta kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk (perishable goods).



PASAL 159


Dalam hal pengirim kargo menyatakan secara tertulis harga kargo yang sebenarnya, pengangkut dan pengirim kargo dapat membuat kesepakatan khusus untuk kargo yang memuat barang mudah rusak dan/atau cepat busuk dengan mengecualikan besaran kompensasi tanggung jawab yang diatur dalam undang-undang ini.



Pasal 160



Pengangkut dan pengirim kargo dapat menyepakati syarat- syarat khusus untuk angkutan kargo:

yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan besar ganti kerugian sesuai dengan ketentuan dalam undang- undang ini; dan/atau


yang memerlukan perawatan atau penanganan khusus dan harus disertai perjanjian khusus dengan tambahan imbalan untuk mengasuransikan kargo tersebut.


PASAL 161


(1) Pengirim bertanggung jawab atas kebenaran surat muatan udara.





(2) Pengirim kargo bertanggung jawab atas kelengkapan dokumen   lainnya   yang   dipersyaratkan   oleh   instansi terkait dan menyerahkan kepada pengangkut.



(3) Pengirim bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengangkut atau pihak lain sebagai akibat dari ketidakbenaran surat muatan udara yang dibuat oleh pengirim.



PASAL 162


(1) Pengangkut wajib segera memberi tahu penerima kargo pada kesempatan pertama bahwa kargo telah tiba dan segera diambil.



(2)   Biaya yang timbul akibat penerima kargo terlambat atau lalai mengambil pada   waktu   yang   telah ditentukan menjadi tanggung jawab penerima.



PASAL 163


Dalam hal kargo belum diserahkan kepada penerima, pengirim dapat meminta kepada pengangkut untuk menyerahkan kargo tersebut kepada penerima lain atau mengirimkan kembali kepada pengirim, dan semuanya atas biaya dan tanggung jawab pengirim.



PASAL 164


(1)   Dalam hal penerima kargo, setelah diberitahu sesuai dengan waktu yang diperjanjikan tidak mengambil kargo, semua biaya yang ditimbulkannya menjadi tanggung jawab penerima kargo.



(2) Kargo yang telah melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut berhak menjualnya dan hasilnya digunakan untuk pembayaran biaya yang timbul akibat kargo yang tidak diambil oleh penerima.



(3) Penjualan kargo sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara yang paling cepat, tepat, dan dengan harga yang wajar.



(4) Hasil penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diserahkan kepada yang berhak menerima setelah dipotong biaya yang dikeluarkan oleh pengangkut sepanjang dapat dibuktikan.



(5)   Penerima kargo tidak berhak menuntut ganti kerugian atas kerugian yang dideritanya karena penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).





Paragraf 4

Besaran Ganti Kerugian



PASAL 165


(1) Jumlah ganti kerugian untuk setiap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka sebagaimana     dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.



(2)   Jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah ganti kerugian yang diberikan oleh badan usaha angkutan udara niaga di luar ganti kerugian yang diberikan oleh lembaga asuransi yang ditetapkan oleh Pemerintah.



PASAL 166


Pengangkut   dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1).



PASAL 167


Jumlah ganti kerugian untuk bagasi kabin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ditetapkan setinggi-tingginya sebesar kerugian nyata penumpang.



PASAL 168


(1) Jumlah ganti kerugian untuk setiap bagasi tercatat dan kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 dan Pasal

145 ditetapkan dengan Peraturan Menteri.



(2) Besarnya ganti kerugian untuk kerusakan atau kehilangan sebagian atau seluruh bagasi tercatat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 atau kargo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 dihitung berdasarkan berat bagasi tercatat atau kargo yang dikirim yang hilang, musnah, atau rusak.



(3) Apabila   kerusakan   atau   kehilangan   sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan seluruh bagasi atau seluruh kargo tidak dapat digunakan lagi, pengangkut bertanggung jawab berdasarkan seluruh berat bagasi atau kargo yang tidak dapat digunakan tersebut.



PASAL 169


Pengangkut dan penumpang dapat membuat persetujuan khusus untuk menetapkan jumlah ganti kerugian yang lebih tinggi dari jumlah ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1).



PASAL 170


Jumlah ganti kerugian untuk setiap keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.



PASAL 171


Dalam hal orang yang dipekerjakan atau mitra usaha yang bertindak atas nama pengangkut digugat untuk membayar ganti kerugian untuk kerugian yang timbul karena tindakan yang dilakukan di luar batas kewenangannya, menjadi tanggung jawab yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



PASAL 172


(1)   Besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165, Pasal 168, dan Pasal 170 dievaluasi paling sedikit satu kali dalam satu tahun oleh Menteri.



(2)   Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:

tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia;
kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga;
tingkat inflasi kumulatif;
pendapatan per kapita; dan
perkiraan usia harapan hidup.


(3)   Berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan perubahan besaran ganti kerugian, setelah mempertimbangkan saran dan masukan dari menteri yang membidangi urusan keuangan.



(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.



Paragraf 5

Pihak yang Berhak Menerima Ganti Kerugian



PASAL 173


(1) Dalam hal seorang penumpang meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1), yang berhak menerima ganti kerugian adalah ahli waris penumpang tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



(2)   Dalam hal tidak ada ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1), badan usaha angkutan udara niaga menyerahkan ganti kerugian kepada negara setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.





Paragraf 6

Jangka Waktu Pengajuan Klaim



PASAL 174


(1)   Klaim atas kerusakan bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat diambil oleh penumpang.



(2) Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya bagasi tercatat harus diajukan pada saat bagasi tercatat seharusnya diambil oleh penumpang.



(3) Bagasi tercatat dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas)

hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan.



(4)   Klaim atas kehilangan bagasi tercatat diajukan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui.





PASAL 175


(1)   Klaim atas kerusakan kargo harus diajukan pada saat kargo diambil oleh penerima kargo.



(2) Klaim atas keterlambatan atau tidak diterimanya kargo harus diajukan pada saat kargo seharusnya diambil oleh penerima kargo.



(3) Kargo dinyatakan hilang setelah 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tiba di tempat tujuan.



(4)   Klaim atas kehilangan kargo diajukan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui.



Paragraf 7

Hal Gugatan



PASAL 176


Penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 173 dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia.



PASAL 177


Hak untuk menggugat kerugian yang diderita penumpang atau pengirim kepada pengangkut dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal seharusnya kargo dan bagasi tersebut tiba di tempat tujuan.



Paragraf 8

Pernyataan Kemungkinan Meninggal Dunia bagi Penumpang Pesawat Udara yang Hilang



PASAL 178


(1)   Penumpang yang berada dalam pesawat udara yang hilang, dianggap telah meninggal dunia, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah tanggal pesawat udara seharusnya mendarat di tempat tujuan akhir tidak diperoleh kabar mengenai hal ihwal penumpang tersebut, tanpa diperlukan putusan pengadilan.







(2)   Hak penerimaan ganti kerugian dapat diajukan setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).







Paragraf 9

Wajib Asuransi



PASAL 179


Pengangkut wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap penumpang dan kargo yang diangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146.



PASAL 180


Besarnya pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 sekurang-kurangnya harus sama dengan jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Pasal 165, Pasal

168, dan Pasal 170.







Paragraf 10

Tanggung Jawab pada Angkutan Udara

oleh Beberapa Pengangkut Berturut – turut



Pasal 181



(1) Pengangkutan yang dilakukan berturut-turut oleh beberapa pengangkut dianggap sebagai satu pengangkutan, dalam hal diperjanjikan sebagai satu perjanjian angkutan udara oleh pihak–pihak yang bersangkutan dengan tanggung jawab sendiri-sendiri atau bersama-sama.



(2) Dalam hal tidak ada perjanjian oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kerugian yang diderita penumpang, pengirim, dan/atau penerima kargo menjadi tanggung jawab pihak pengangkut yang mengeluarkan dokumen angkutan.





Paragraf 11

Tanggung Jawab pada Angkutan Intermoda



PASAL 182


(1)   Pengangkut hanya bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi dalam kegiatan angkutan udara dalam hal pengangkutan dilakukan melalui angkutan intermoda.



(2) Dalam hal angkutan intermoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak pengangkut menggunakan 1 (satu) dokumen angkutan, tanggung jawab dibebankan kepada pihak yang menerbitkan dokumen.





Paragraf 12

Tanggung Jawab Pengangkut Lain



PASAL 183


Tanggung jawab pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 146 berlaku juga bagi angkutan udara yang dilaksanakan oleh pihak   pengangkut lain yang mengadakan perjanjian pengangkutan selain pengangkut.







Paragraf 13

Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Pihak Ketiga



PASAL 184


(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian pesawat udara, kecelakaan pesawat udara, atau jatuhnya benda- benda lain dari pesawat udara yang dioperasikan.



(2)   Ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kerugian nyata yang dialami.



(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan besaran ganti kerugian, persyaratan, dan tata cara untuk memperoleh ganti kerugian diatur dengan Peraturan Menteri.



PASAL 185


Pengangkut dapat menuntut pihak ketiga yang mengakibatkan timbulnya kerugian terhadap penumpang, pengirim, atau penerima kargo yang menjadi tanggung jawab pengangkut.







Paragraf 14

Persyaratan Khusus



PASAL 186


(1) Pengangkut   dilarang   membuat   perjanjian   atau persyaratan khusus yang meniadakan tanggung jawab pengangkut atau menentukan batas yang lebih rendah dari batas ganti kerugian yang diatur dalam Undang- Undang ini.



(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KESEMBILAN ANGKUTAN MULTIMODA


PASAL 187


(1) Angkutan udara dapat merupakan bagian angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.



(2) Kegiatan angkutan udara dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dibuat antara badan usaha angkutan udara dan badan usaha angkutan multimoda, dan/atau badan usaha moda lainnya.



PASAL 188


Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin untuk melakukan angkutan multimoda dari Menteri.





PASAL 189


(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 bertanggung jawab (liability) terhadap barang kiriman sejak diterima sampai diserahkan kepada penerima barang.



(2) Tanggung jawab angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan penyerahan barang.



(3)   Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal badan usaha angkutan multimoda atau agennya dapat membuktikan telah dilaksanakannya segala prosedur untuk mencegah terjadinya kehilangan, kerusakan barang, serta keterlambatan penyerahan barang.



(4) Tanggung jawab badan usaha angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbatas.



PASAL 190


Badan usaha angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.



PASAL 191


Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB XI KEBANDARUDARAAN


BAGIAN KESATU UMUM


PASAL 192


Bandar udara terdiri atas:

bandar udara umum, yang selanjutnya disebut bandar udara; dan
bandar udara khusus.


BAGIAN KEDUA TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL


PASAL 193


(1) Tatanan kebandarudaraan nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan bandar udara yang andal, terpadu, efisien,   serta mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah yang ber-Wawasan Nusantara.



(2) Tatanan     kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem perencanaan kebandarudaraan     nasional yang menggambarkan interdependensi, interrelasi, dan sinergi antar-unsur yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis, potensi ekonomi, dan pertahanan keamanan dalam rangka mencapai tujuan nasional.



(3) Tatanan   kebandarudaraan   nasional   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

peran, fungsi, penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara; serta
rencana induk nasional bandar udara.


PASAL 194


Bandar udara memiliki peran sebagai:

simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;
pintu gerbang kegiatan perekonomian;
tempat kegiatan alih moda transportasi;
pendorong dan penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
pembuka isolasi daerah, pengembangan daerah perbatasan, dan penanganan bencana; serta
prasarana   memperkukuh Wawasan   Nusantara   dan kedaulatan negara.


PASAL 195


Bandar udara berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan:

pemerintahan; dan/atau b. pengusahaan.


PASAL 196


Penggunaan bandar udara terdiri atas bandar udara internasional dan bandar udara domestik.



PASAL 197


(1) Hierarki bandar udara terdiri atas bandar udara pengumpul (hub) dan bandar udara pengumpan (spoke).



(2)   Bandar udara pengumpul sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan primer, sekunder, dan tersier.



(3)   Bandar udara pengumpan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bandar udara tujuan atau penunjang dari bandar udara pengumpul dan merupakan salah satu prasarana penunjang pelayanan kegiatan lokal.



PASAL 198


Klasifikasi bandar udara terdiri atas beberapa kelas bandar udara yang ditetapkan berdasarkan kapasitas pelayanan dan kegiatan operasional bandar udara.



PASAL 199




(1) Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (3) huruf b merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, penyusunan rencana induk, pembangunan, pengoperasian, dan pengembangan bandar udara.



(2) Rencana induk nasional bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:

rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
potensi sumber daya alam;
perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional;
sistem transportasi nasional;
keterpaduan intermoda dan multimoda; serta g. peran bandar udara.




(3) Rencana induk nasional bandar udara memuat:

kebijakan nasional bandar udara; dan
rencana lokasi bandar udara beserta penggunaan, hierarki, dan klasifikasi bandar udara.


PASAL 200


(1) Menteri menetapkan tatanan kebandarudaraan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.



(2) Tatanan   kebandarudaraan   nasional   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.



(3)   Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis, tatanan kebandarudaraan nasional dapat ditinjau lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.



(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan tatanan kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KETIGA PENETAPAN LOKASI BANDAR UDARA


PASAL 201


(1) Lokasi bandar udara ditetapkan oleh Menteri.



(2) Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

titik koordinat bandar udara; dan b. rencana induk bandar udara.


(3) Penetapan lokasi bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

rencana induk nasional bandar udara;
keselamatan dan keamanan penerbangan;
keserasian   dan   keseimbangan   dengan   budaya setempat dan kegiatan lain terkait di lokasi bandar udara;
kelayakan ekonomis, finansial, sosial, pengembangan wilayah, teknis pembangunan, dan pengoperasian; serta
kelayakan lingkungan.


PASAL 202


Rencana induk bandar udara sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 201 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:

prakiraan permintaan kebutuhan pelayanan penumpang dan kargo;
kebutuhan fasilitas;
tata letak fasilitas;
tahapan pelaksanaan pembangunan;
kebutuhan dan pemanfaatan lahan;
daerah lingkungan kerja;
daerah lingkungan kepentingan;
kawasan keselamatan operasi penerbangan; dan i. batas kawasan kebisingan.


PASAL 203


(1) Daerah lingkungan kerja bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f merupakan daerah yang dikuasai badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara, yang digunakan untuk pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pengoperasian fasilitas bandar udara.



(2) Pada daerah lingkungan kerja bandar udara yang telah ditetapkan, dapat diberikan hak pengelolaan atas tanah dan/atau pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



PASAL 204


(1) Dalam pelayanan kegiatan angkutan udara dapat ditetapkan tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter) di luar daerah lingkungan kerja bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri.



(2)   Tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari daerah lingkungan kerja bandar udara dan harus memperhatikan aspek keamanan penerbangan.



PASAL 205


(1) Daerah   lingkungan   kepentingan   bandar   udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf g merupakan daerah di luar lingkungan kerja bandar udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kelancaran aksesibilitas penumpang dan kargo.



(2)   Pemanfaatan   daerah   lingkungan   kepentingan   bandar udara harus mendapatkan persetujuan dari Menteri.



PASAL 206


Kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf h terdiri atas:

kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas;
kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;
kawasan di bawah permukaan transisi;
kawasan di bawah permukaan horizontal-dalam;
kawasan di bawah permukaan kerucut; dan
kawasan di bawah permukaan horizontal-luar.


PASAL 207


Batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf i merupakan kawasan tertentu di sekitar bandar udara yang terpengaruh gelombang suara mesin pesawat udara yang terdiri atas:

kebisingan tingkat I;
kebisingan tingkat II; dan c. kebisingan tingkat III.


PASAL 208


(1) Untuk mendirikan, mengubah, atau melestarikan bangunan, serta menanam atau memelihara pepohonan di dalam kawasan keselamatan operasi penerbangan tidak boleh melebihi batas ketinggian kawasan keselamatan operasi penerbangan.







(2)   Pengecualian terhadap ketentuan mendirikan, mengubah, atau   melestarikan   bangunan   sebagaimana   dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri, dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:

merupakan fasilitas yang mutlak diperlukan untuk operasi penerbangan;
memenuhi kajian khusus aeronautika; dan
sesuai dengan ketentuan teknis keselamatan operasi penerbangan.


(3)   Bangunan yang melebihi batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diinformasikan melalui pelayanan informasi aeronautika (aeronautical information service).



PASAL 209


Batas daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan, kawasan keselamatan operasi penerbangan, dan batas kawasan kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan dengan koordinat geografis.



PASAL 210


Setiap orang dilarang berada di daerah tertentu di bandar udara, membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang dapat membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan, kecuali memperoleh izin dari otoritas bandar udara.



PASAL 211


(1) Untuk   menjamin   keselamatan   dan   keamanan penerbangan serta pengembangan bandar udara, pemerintah daerah wajib mengendalikan daerah lingkungan kepentingan bandar udara.



(2) Untuk mengendalikan daerah lingkungan kepentingan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah daerah wajib menetapkan rencana rinci tata ruang kawasan di sekitar bandar udara dengan memperhatikan rencana induk bandar udara dan rencana induk nasional bandar udara.





PASAL 212


Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin tersedianya aksesibilitas dan utilitas untuk menunjang pelayanan bandar udara.



PASAL 213


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan lokasi bandar udara dan tempat pelayanan penunjang di luar daerah lingkungan kerja diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KEEMPAT PEMBANGUNAN BANDAR UDARA


PASAL 214


Bandar   udara   sebagai bangunan   gedung dengan fungsi khusus, pembangunannya wajib memperhatikan ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, mutu pelayanan jasa kebandarudaraan, kelestarian lingkungan, serta keterpaduan intermoda dan multimoda.



PASAL 215


(1)   Izin mendirikan bangunan bandar udara ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.



(2) Izin mendirikan bangunan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah memenuhi persyaratan:

bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;
rekomendasi yang diberikan oleh instansi terkait terhadap utilitas dan aksesibilitas dalam penyelenggaraan bandar udara;
bukti penetapan lokasi bandar udara;
rancangan teknik terinci fasilitas pokok bandar udara;
dan

kelestarian lingkungan.


PASAL 216


Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAGIAN KELIMA PENGOPERASIAN BANDAR UDARA


PARAGRAF 1 SERTIFIKASI OPERASI BANDAR UDARA


PASAL 217


(1) Setiap bandar udara yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan   keselamatan   dan   keamanan   penerbangan, serta ketentuan pelayanan jasa bandar udara.



(2) Bandar udara yang telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan, Menteri memberikan:

sertifikat bandar udara, untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas lebih dari
30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat

maksimum tinggal landas lebih dari 5.700 (lima ribu

tujuh ratus) kilogram; atau

register bandar udara, untuk bandar udara yang melayani pesawat udara dengan kapasitas maksimum
30 (tiga puluh) tempat duduk atau dengan berat maksimum tinggal landas sampai dengan 5.700 (lima ribu tujuh ratus) kilogram.



(3)   Sertifikat bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, diberikan setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara (aerodrome manual) yang memenuhi persyaratan teknis tentang:

personel;
fasilitas;
prosedur operasi bandar udara; dan
sistem manajemen keselamatan operasi bandar udara.


(4)   Register bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan setelah bandar udara memiliki buku pedoman pengoperasian bandar udara yang memenuhi persyaratan teknis tentang:

personel;
fasilitas; dan
prosedur operasi bandar udara.


(5) Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara tidak memenuhi ketentuan pelayanan jasa bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
penurunan tarif jasa bandar udara; dan/atau c. pencabutan sertifikat.


PASAL 218


Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar udara atau register bandar udara dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.



PARAGRAF 2 FASILITAS BANDAR UDARA


PASAL 219


(1) Setiap badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan.



(2)   Setiap fasilitas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat kelaikan oleh Menteri.



(3)   Untuk mempertahankan kesiapan fasilitas bandar udara, badan usaha bandar udara, atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan perawatan dalam jangka waktu tertentu dengan cara pengecekan, tes, verifikasi, dan/atau kalibrasi.



(4) Untuk menjaga dan meningkatkan kinerja fasilitas, prosedur, dan personel, badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melakukan pelatihan penanggulangan keadaan darurat secara berkala.



(5) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.




PASAL 220


(1)   Pengoperasian   bandar   udara   sebagaimana   dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) wajib dilakukan oleh tenaga manajerial yang memiliki kemampuan dan kompetensi operasi dan manajerial di bidang teknis dan/atau operasi bandar udara.



(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.


PASAL 221


Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   pengoperasian   fasilitas bandar udara serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.



PARAGRAF 3 PERSONEL BANDAR UDARA


PASAL 222


(1)   Setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.



(2) Personel bandar udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas bandar udara wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.



(3)  Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:

administratif;
sehat jasmani dan rohani;
memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan d. lulus ujian.


(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Menteri.







PASAL 223


(1)   Personel bandar udara yang telah memiliki lisensi wajib:

melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya;
mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan
melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.


(2) Personel bandar udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan lisensi; dan/atau c. pencabutan lisensi.


PASAL 224


Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri.



PASAL 225


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KEENAMPENYELENGGARAAN KEGIATAN DI BANDAR UDARA


PARAGRAF 1 KEGIATAN PEMERINTAHAN DI BANDAR UDARA


PASAL 226


(1)   Kegiatan pemerintahan di bandar udara meliputi:

pembinaan kegiatan penerbangan;
kepabeanan;
keimigrasian; dan d. kekarantinaan.






(2) Pembinaan kegiatan penerbangan di bandar udara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh otoritas bandar udara.



(3) Fungsi kepabeanan, keimigrasian, dan kekarantinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pemerintahan di bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.



PARAGRAF 2 OTORITAS BANDAR UDARA


PASAL 227


(1) Otoritas bandar udara ditetapkan oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.



(2)   Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk untuk satu atau beberapa bandar udara terdekat.



(3)   Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.



PASAL 228


Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1) mempunyai tugas dan tanggung jawab:

menjamin keselamatan, keamanan, kelancaran, dan kenyamanan di bandar udara;
memastikan terlaksana dan terpenuhinya ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan, kelancaran, dan kenyamanan di bandar udara;
menjamin terpeliharanya pelestarian lingkungan bandar udara;
menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional bandar udara yang dianggap tidak dapat diselesaikan oleh instansi lainnya;
melaporkan kepada pimpinan tertingginya dalam hal pejabat instansi di bandar udara, melalaikan tugas dan tanggungjawabnya serta mengabaikan dan/atau tidak menjalankan kebijakan dan peraturan yang ada di bandar udara; dan
melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya kepada Menteri.


PASAL 229


Otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

227 ayat (1) mempunyai wewenang:

mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan di bandar udara;
mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran, serta kenyamanan penerbangan di bandar udara;
mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan ketentuan pelestarian lingkungan;
mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan/atau perairan bandar udara sesuai dengan rencana induk bandar udara;
mengatur, mengendalikan, dan mengawasi penggunaan kawasan keselamatan operasional penerbangan dan daerah lingkungan kerja bandar udara serta daerah lingkungan kepentingan bandar udara;
mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan standar kinerja operasional pelayanan jasa di bandar udara; dan
memberikan sanksi administratif kepada badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan/atau badan usaha lainnya yang tidak memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, kelancaran serta kenyamanan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


PASAL 230


Aparat otoritas bandar udara merupakan pegawai negeri sipil yang memiliki kompetensi di bidang penerbangan sesuai dengan standar dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.



PASAL 231


Ketentuan lebih lanjut mengenai otoritas bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.







PARAGRAF 3 KEGIATAN PENGUSAHAAN DI BANDAR UDARA


PASAL 232


(1) Kegiatan pengusahaan bandar udara terdiri atas:

pelayanan jasa kebandarudaraan; dan b. pelayanan jasa terkait bandar udara.


(2)   Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang, dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/atau pengembangan:

fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manuver, parkir, dan penyimpanan pesawat udara;
fasilitas   terminal   untuk   pelayanan   angkutan penumpang, kargo, dan pos;
fasilitas elektronika, listrik, air, dan instalasi limbah buangan; dan
lahan untuk bangunan, lapangan, dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara.


(3) Pelayanan jasa terkait bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:

jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan operasi pesawat udara di bandar udara, terdiri atas:
1) penyediaan hanggar pesawat udara;

2) perbengkelan pesawat udara;

3) pergudangan;

4) katering pesawat udara;

5) pelayanan teknis penanganan pesawat udara di darat (ground handling);

6) pelayanan penumpang dan bagasi; serta

7) penanganan kargo dan pos.



jasa terkait untuk menunjang kegiatan pelayanan penumpang dan barang, terdiri atas:
1) penyediaan penginapan/hotel dan transit hotel;

2) penyediaan toko dan restoran;

3) penyimpanan kendaraan bermotor;

4) pelayanan kesehatan;

5) perbankan dan/atau penukaran uang; dan

6) transportasi darat.



jasa terkait untuk memberikan nilai tambah bagi pengusahaan bandar udara, terdiri atas:
1) penyediaan tempat bermain dan rekreasi;

2) penyediaan fasilitas perkantoran;

3) penyediaan fasilitas olah raga;

4) penyediaan fasiltas pendidikan dan pelatihan;

5) pengisian bahan bakar kendaraan bermotor; dan

6) periklanan.



PASAL 233


(1)   Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2) dapat diselenggarakan oleh:

badan usaha bandar udara untuk bandar udara yang diusahakan secara komersial setelah memperoleh izin dari Menteri; atau
unit penyelenggara bandar udara untuk bandar udara yang belum diusahakan secara komersial yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah dan/atau pemerintah daerah.


(2)   Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan setelah memenuhi persyaratan administrasi, keuangan, dan manajemen.



(3)   Izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat dipindahtangankan.



(4)   Pelayanan jasa terkait dengan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (3) dapat diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.



(5)   Badan usaha bandar udara yang memindahtangankan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin.



PASAL 234


(1) Dalam melaksanakan pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2), badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara wajib:

memiliki sertifikat bandar udara atau register bandar udara;
menyediakan fasilitas bandar udara yang laik operasi, serta memelihara kelaikan fasilitas bandar udara;
menyediakan personel yang mempunyai kompetensi untuk perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara;
mempertahankan   dan   meningkatkan   kompetensi personel yang merawat dan mengoperasikan fasilitas bandar udara;
menyediakan dan memperbarui setiap prosedur pengoperasian dan perawatan fasilitas bandar udara;
memberikan pelayanan kepada pengguna jasa bandar udara sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri;
menyediakan fasilitas kelancaran lalu lintas personel pesawat udara dan petugas operasional;
menjaga dan meningkatkan keselamatan, keamanan, kelancaran, dan kenyamanan di bandar udara;
menjaga dan meningkatkan keamanan dan ketertiban bandar udara;
memelihara kelestarian lingkungan;
mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan;
melakukan   pengawasan   dan   pengendalian   secara internal atas kelaikan fasilitas bandar udara, pelaksanaan prosedur perawatan dan pengoperasian fasilitas bandar udara, serta kompetensi personel bandar udara; dan
memberikan laporan secara berkala kepada Menteri dan otoritas bandar udara.


(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan izin; dan/atau c. pencabutan izin.




PASAL 235


(1)   Pelayanan jasa kebandarudaraan yang dilaksanakan oleh badan usaha bandar udara diselenggarakan berdasarkan konsesi dan/atau bentuk lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan diberikan oleh Menteri dan dituangkan dalam perjanjian.



(2) Hasil konsesi dan/atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pendapatan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



PASAL 236


Badan usaha bandar udara dapat menyelenggarakan 1 (satu)

atau lebih bandar udara yang diusahakan secara komersial.



PASAL 237


(1) Pengusahaan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (1) yang dilakukan oleh badan usaha bandar udara, seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia.



(2)   Dalam hal modal badan usaha bandar udara yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbagi atas beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemegang modal asing.



PASAL 238


Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di bandar udara, serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KETUJUH PELAYANAN DAN FASILITAS KHUSUS


PASAL 239


(1)   Penyandang cacat, orang sakit, lanjut usia, dan anak- anak berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus dari badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara.



(2) Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

pemberian prioritas pelayanan di terminal;
menyediakan fasilitas untuk penyandang cacat selama di terminal;
sarana bantu bagi orang sakit;
menyediakan fasilitas untuk ibu merawat bayi
(nursery);

tersedianya personel   yang khusus bertugas untuk melayani atau berkomunikasi dengan penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia; serta
tersedianya     informasi     atau     petunjuk     tentang keselamatan bangunan bagi penumpang di terminal dan sarana lain yang dapat dimengerti oleh penyandang cacat, orang sakit, dan lanjut usia.




(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KEDELAPAN TANGGUNG JAWAB GANTI KERUGIAN


PASAL 240


(1)   Badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara.



(2) Tanggung jawab terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

kematian atau luka fisik orang;
musnah,   hilang,   atau   rusak   peralatan   yang dioperasikan; dan/atau
dampak lingkungan di sekitar bandar udara akibat pengoperasian bandar udara.


(3) Risiko atas tanggung jawab terhadap kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diasuransikan.





(4) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan sertifikat; dan/atau c. pencabutan sertifikat.


PASAL 241


Orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan di bandar udara bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya.



PASAL 242


Ketentuan   lebih   lanjut  mengenai   tanggung   jawab   atas kerugian serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KESEMBILAN TARIF JASA KEBANDARUDARAAN


PASAL 243


Setiap pelayanan jasa kebandarudaraan dan jasa terkait dengan bandar udara dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang disediakan.



PASAL 244


(1) Struktur dan golongan tarif jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 ditetapkan oleh Menteri.



(2) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang diusahakan secara komersial ditetapkan oleh badan usaha bandar udara.



(3) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara yang belum diusahakan secara komersial ditetapkan dengan:

Peraturan Pemerintah untuk bandar udara yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara; atau




Peraturan   daerah   untuk   bandar   udara   yang diselenggarakan oleh unit penyelenggara bandar udara pemerintah daerah.


PASAL 245


Besaran tarif jasa terkait pada bandar udara ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa.



PASAL 246


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan tarif jasa kebandarudaraan diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KESEPULUH BANDAR UDARA KHUSUS


PASAL 247


(1)   Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum Indonesia dapat membangun bandar udara khusus setelah mendapat izin pembangunan dari Menteri.



(2) Izin pembangunan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:

bukti kepemilikan dan/atau penguasaan lahan;
rekomendasi yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat;
rancangan teknik terinci fasilitas pokok; dan d. kelestarian lingkungan.


(3)   Ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan pada bandar udara khusus berlaku sebagaimana ketentuan pada bandar udara.



PASAL 248


Pengawasan dan pengendalian pengoperasian bandar udara khusus dilakukan oleh otoritas bandar udara terdekat yang ditetapkan oleh Menteri.





PASAL 249


Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah memperoleh izin dari Menteri.



PASAL 250


Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum kecuali dalam keadaan tertentu dengan izin Menteri, dan bersifat sementara.



PASAL 251


Bandar udara khusus dapat berubah status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum setelah memenuhi persyaratan ketentuan bandar udara.



PASAL 252


Ketentuan lebih lanjut mengenai izin pembangunan dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan status menjadi bandar udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KESEBELAS TEMPAT PENDARATAN DAN LEPAS LANDAS HELIKOPTER


PASAL 253


(1)   Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport)

terdiri atas:

tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di daratan (surface level heliport);
tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas gedung (elevated heliport); dan
tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di perairan (helideck).


(2) Izin mendirikan bangunan tempat pendaratan dan lepas landas helikopter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah daerah setempat setelah memperoleh pertimbangan teknis dari Menteri.





(3) Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

meliputi aspek:

penggunaan ruang udara;
rencana jalur penerbangan ke dan dari tempat pendaratan dan lepas landas helikopter; serta
standar teknis operasional keselamatan dan keamanan penerbangan.


PASAL 254


(1)   Setiap tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan.



(2)   Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter yang telah memenuhi ketentuan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan register oleh Menteri.



PASAL 255


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian izin pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KEDUA BELAS BANDAR UDARA INTERNASIONAL


PASAL 256


(1)   Menteri menetapkan beberapa bandar udara sebagai bandar udara internasional.



(2) Penetapan bandar udara internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan:

rencana induk nasional bandar udara;
pertahanan dan keamanan negara;
pertumbuhan dan perkembangan pariwisata;
kepentingan dan kemampuan angkutan udara nasional; serta
pengembangan ekonomi nasional dan perdagangan luar negeri.




(3) Penetapan bandar udara internasional oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan menteri terkait.



(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bandar udara internasional diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KETIGA BELAS PENGGUNAAN BERSAMA BANDAR UDARA DAN PANGKALAN UDARA


PASAL 257


(1) Dalam keadaan tertentu bandar udara dapat digunakan sebagai pangkalan udara.



(2) Dalam keadaan tertentu pangkalan udara dapat digunakan bersama sebagai bandar udara.



(3)   Penggunaan bersama suatu bandar udara atau pangkalan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

kebutuhan pelayanan jasa transportasi udara;
keselamatan, keamanan, dan kelancaran penerbangan;
keamanan dan pertahanan negara; serta d. peraturan perundang-undangan.


PASAL 258


(1)   Dalam keadaan damai, pangkalan udara yang digunakan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (2) berlaku ketentuan penerbangan sipil.



(2) Pengawasan dan pengendalian penggunaan kawasan keselamatan operasi penerbangan pada pangkalan udara yang digunakan bersama dilaksanakan oleh otoritas bandar udara setelah mendapat persetujuan dari instansi terkait.



PASAL 259


Bandar udara dan pangkalan udara yang digunakan secara bersama ditetapkan dengan Keputusan Presiden.





BAGIAN KEEMPAT BELAS PELESTARIAN LINGKUNGAN


PASAL 260


(1)   Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib menjaga ambang batas kebisingan dan pencemaran lingkungan di bandar udara dan sekitarnya sesuai dengan ambang batas dan baku mutu yang ditetapkan Pemerintah.



(2) Untuk menjaga ambang batas kebisingan dan pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara dapat membatasi waktu dan frekuensi, atau menolak pengoperasian pesawat udara.



(3) Untuk menjaga ambang batas kebisingan dan pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.



(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat kebisingan, pencemaran, serta pemantauan dan pengelolaan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.



BAB XII NAVIGASI PENERBANGAN


BAGIAN KESATU TATANAN NAVIGASI PENERBANGAN NASIONAL


PASAL 261


(1) Guna mewujudkan penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan yang andal   dalam rangka keselamatan penerbangan harus ditetapkan tatanan navigasi penerbangan nasional.



(2) Tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan menteri yang membidangi urusan di bidang pertahanan dan Panglima Tentara Nasional Indonesia.



(3) Penyusunan tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana   dimaksud   pada   ayat   (1)   dilaksanakan dengan mempertimbangkan:

keselamatan operasi penerbangan;
efektivitas dan efisiensi operasi penerbangan;
kepadatan lalu lintas penerbangan;
standar tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang berlaku; dan
perkembangan   teknologi   di   bidang   navigasi penerbangan.


(4) Tatanan navigasi penerbangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:

ruang udara yang dilayani;
klasifikasi ruang udara;
jalur penerbangan; dan
jenis pelayanan navigasi penerbangan.






PARAGRAF 1 RUANG UDARA YANG DILAYANI


PASAL 262




(1) Ruang udara yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 261 ayat (4) huruf a meliputi:

wilayah udara Republik Indonesia, selain wilayah udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian;
ruang udara negara lain yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada Republik Indonesia; dan
ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional kepada Republik Indonesia.


(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.





PASAL 263


Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan paling sedikit:

struktur jalur penerbangan;
arus lalu lintas penerbangan; dan
efisiensi pergerakan pesawat udara.


PASAL 264


(1)   Kawasan udara berbahaya ditetapkan oleh penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan pada ruang udara yang dilayaninya.



(2) Pada kawasan udara berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pembatasan kegiatan penerbangan yang bersifat tidak tetap dan tidak menyeluruh sesuai dengan kondisi alam.







PARAGRAF 2 KLASIFIKASI RUANG UDARA


PASAL 265


(1)   Klasifikasi ruang udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf b disusun dengan mempertimbangkan:

kaidah penerbangan;
pemberian separasi;
pelayanan yang disediakan:
pembatasan kecepatan:
komunikasi radio; dan/atau
persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan
(Air Traffic Control Clearance).



(2)   Klasifikasi Ruang Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kelas A, kelas B, kelas C, kelas D, kelas E, kelas F, dan kelas G.





PARAGRAF 3 JALUR PENERBANGAN


Pasal 266



(1) Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

261 ayat (4) huruf c bertujuan untuk mengatur arus lalu lintas penerbangan.



(2) Penetapan jalur penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan paling sedikit:

pembatasan penggunaan ruang udara;
klasifikasi ruang udara;
fasilitas navigasi penerbangan;
efisiensi dan keselamatan pergerakan pesawat udara;
dan

kebutuhan pengguna pelayanan navigasi penerbangan.


PASAL 267


(1)   Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

261 ayat (4) huruf c meliputi:

jalur udara (airway);
jalur udara dengan pelayanan saran panduan
(advisory route);

jalur udara   dengan   pemanduan   (control route) dan/atau jalur udara tanpa pemanduan (uncontrolled route); dan
jalur udara keberangkatan (departure route) dan jalur udara kedatangan (arrival route).


(2)   Jalur penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

memuat paling sedikit:

nama jalur penerbangan;
nama titik acuan dan koordinat;
arah (track) yang menuju atau dari suatu titik acuan;
jarak antartitik acuan; dan
batas ketinggian aman terendah.


PASAL 268


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan Tatanan Ruang Udara Nasional dan jalur penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KEDUA PENYELENGGARAAN PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN


PARAGRAF 1 TUJUAN DAN JENIS PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN


PASAL 269


Navigasi penerbangan mempunyai tujuan sebagai berikut:

terwujudnya penyediaan jasa pelayanan navigasi penerbangan sesuai dengan standar yang berlaku;
terwujudnya efisiensi penerbangan; dan
terwujudnya suatu jaringan pelayanan navigasi penerbangan secara terpadu, serasi, dan harmonis dalam lingkup nasional, regional, dan internasional.


PASAL 270


Jenis pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf d meliputi:

pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services);
pelayanan telekomunikasi penerbangan (aeronautical telecommunication services);
pelayanan informasi aeronautika (aeronautical information services);
pelayanan informasi meteorologi penerbangan
(aeronautical meteorological services); dan

pelayanan informasi pencarian dan pertolongan (search and rescue).






PARAGRAF 2 PENYELENGGARA PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN


PASAL 271


(1) Pemerintah   bertanggung   jawab menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara yang beroperasi di ruang udara yang dilayani.



(2) Untuk     menyelenggarakan     pelayanan     navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk satu lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan.





(3) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi kriteria sebagai berikut:

mengutamakan keselamatan penerbangan;
tidak berorientasi kepada keuntungan;
secara finansial dapat mandiri; dan
biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery).


(4) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.


PASAL 272


(1) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memberikan pelayanan navigasi penerbangan pesawat udara.



(2)   Kewajiban pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak kontak komunikasi pertama sampai dengan kontak komunikasi terakhir antara kapten penerbang dengan petugas atau fasilitas navigasi penerbangan.



(3)   Untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lembaga penyelenggara   pelayanan navigasi penerbangan:

memiliki standar prosedur operasi (standard operating procedure);
mengoperasikan dan memelihara keandalan fasilitas navigasi penerbangan sesuai dengan standar;
mempekerjakan personel navigasi penerbangan yang memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi; dan
memiliki mekanisme pengawasan dan pengendalian jaminan kualitas pelayanan.


PASAL 273


Lembaga   penyelenggara   pelayanan   navigasi   penerbangan harus mengalihkan jalur penerbangan suatu pesawat terbang, helikopter, atau pesawat udara sipil jenis tertentu, yang tidak memenuhi persyaratan navigasi penerbangan.



PASAL 274


Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan jalur penerbangan oleh lembaga penyelenggara navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 diatur oleh Menteri.







PARAGRAF 3 SERTIFIKASI PELAYANAN NAVIGASI PENERBANGAN


PASAL 275


(1) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang ditetapkan oleh Menteri.



(2)   Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada masing-masing unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan.



(3) Unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara;
unit pelayanan navigasi pendekatan; dan
unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah.






PARAGRAF 4 BIAYA PELAYANAN JASA NAVIGASI PENERBANGAN


PASAL 276


(1) Pesawat udara yang terbang melalui ruang udara yang dilayani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (4) huruf a dikenakan biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan.



(2)   Biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud     pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat pelayanan navigasi penerbangan yang diberikan.







PASAL 277


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.





PARAGRAF 5 PELAYANAN LALU LINTAS PENERBANGAN


PASAL 278


Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf a mempunyai tujuan:

mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara di udara;
mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacle) di daerah manuver (manouvering area);
memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan;
memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan; dan
memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue).


PASAL 279


(1) Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 terdiri atas:

pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan (air traffic control service);
pelayanan informasi penerbangan (flight information service);
pelayanan saran lalu lintas penerbangan (air traffic advisory service); dan
pelayanan kesiagaan (alerting service).


(2) Pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan paling sedikit:

jenis lalu lintas penerbangan;
kepadatan arus lalu lintas penerbangan;
kondisi sistem teknologi dan topografi; serta


fasilitas dan kelengkapan navigasi penerbangan di pesawat udara.


PASAL 280


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan lalu lintas penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.



PARAGRAF 6 PELAYANAN TELEKOMUNIKASI PENERBANGAN


PASAL 281


Pelayanan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf b bertujuan menyediakan informasi untuk menciptakan akurasi, keteraturan, dan efisiensi penerbangan.



PASAL 282


Pelayanan telekomunikasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 terdiri atas:

pelayanan aeronautika tetap (aeronautical fixed services);
pelayanan aeronautika bergerak (aeronautical mobile services); dan
pelayanan radio navigasi aeronautika (aeronautical radio navigation services).


PASAL 283


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan telekomunikasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri







PARAGRAF 7 PELAYANAN INFORMASI AERONAUTIKA


PASAL 284


Pelayanan   informasi   aeronautika   sebagaimana   dimaksud dalam Pasal 270 huruf c bertujuan tersedianya informasi yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu yang diperlukan untuk keteraturan dan efisiensi penerbangan.





PASAL 285


(1) Pelayanan informasi aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 memuat informasi tentang fasilitas, prosedur, pelayanan di bandar udara dan ruang udara.



(2)   Informasi aeronautika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas paket informasi aeronautika terpadu dan peta navigasi penerbangan.



(3) Paket Informasi aeronautika terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

publikasi informasi aeronautika (aeronautical information publication);
notifikasi kepada penerbang dan petugas lalu lintas penerbangan (notice to airmen);
edaran informasi aeronautika (aeronautical information circulars); dan
buletin yang berisi informasi yang diperlukan sebelum penerbangan.


PASAL 286


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi aeronautika diatur dengan Peraturan Menteri.



PARAGRAF 8 PELAYANAN INFORMASI METEOROLOGI PENERBANGAN


PASAL 287


Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf d bertujuan menyediakan informasi cuaca di bandar udara dan sepanjang jalur penerbangan yang cukup, akurat, terkini, dan tepat waktu untuk keselamatan, kelancaran, dan efisiensi penerbangan.



PASAL 288


Pelayanan informasi meteorologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 diberikan oleh unit pelayanan informasi meteorologi kepada operator pesawat udara, personel pesawat udara, unit pelayanan navigasi penerbangan, unit pelayanan pencarian dan pertolongan, serta penyelenggara bandar udara.





PASAL 289


Pelayanan informasi meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 dilaksanakan secara berkoordinasi antara unit pelayanan informasi meteorologi dan unit pelayanan navigasi penerbangan yang dilakukan melalui kesepakatan bersama.



PASAL 290


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi meteorologi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.



PARAGRAF 9 PELAYANAN INFORMASI PENCARIAN DAN PERTOLONGAN


PASAL 291


(1) Pelayanan informasi pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270 huruf e bertujuan memberikan informasi yang cepat dan akurat untuk membantu usaha pencarian dan pertolongan kecelakaan pesawat udara.



(2) Dalam memberikan pelayanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan harus menyediakan interkoneksi dan   berkoordinasi   dengan   badan   yang   tugas   dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan.



(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelayanan informasi pencarian dan pertolongan diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KETIGA PERSONEL NAVIGASI PENERBANGAN


PASAL 292


(1)   Setiap personel navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi.





(2) Personel navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan wajib memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.



(3)   Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:

administratif;
sehat jasmani dan rohani;
memiliki sertifikat kompetensi di bidangnya; dan d. lulus ujian.


(4)   Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi oleh Menteri.



PASAL 293


(1)   Personel navigasi penerbangan yang telah memiliki lisensi wajib:

melaksanaan pekerjaan sesuai dengan ketentuan di bidangnya;
mempertahankan kemampuan yang dimiliki; dan
melakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala.


(2)   Personel navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan lisensi; dan/atau c. pencabutan lisensi.


PASAL 294


Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi oleh Menteri.



PASAL 295


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KEEMPAT FASILITAS NAVIGASI PENERBANGAN


PASAL 296


(1) Fasilitas navigasi penerbangan terdiri atas:

fasilitas telekomunikasi penerbangan;
fasilitas informasi aeronautika; dan
fasilitas informasi meteorologi penerbangan.


(2)   Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan dipasang dan dioperasikan harus mendapat persetujuan Menteri.



PASAL 297


Pemasangan fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) harus memperhatikan:

kebutuhan operasional; b. perkembangan teknologi; c. keandalan fasilitas; dan d. keterpaduan sistem.


PASAL 298


(1) Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) wajib dipelihara oleh penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



(2) Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan izin; dan/atau c. pencabutan izin.


PASAL 299


(1) Fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (1) huruf a yang dioperasikan untuk pelayanan navigasi penerbangan wajib dikalibrasi secara berkala agar tetap laik operasi.



(2) Penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan izin.



PASAL 300


Penyelenggaraan kalibrasi fasilitas navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299 ayat (1) dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau badan hukum yang mendapat sertifikat dari Menteri.



PASAL 301


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemasangan, pengoperasian, pemeliharaan, pelaksanaan kalibrasi, dan pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KELIMA FREKUENSI RADIO PENERBANGAN


PARAGRAF 1 PENGGUNAAN FREKUENSI


PASAL 302


(1) Menteri   mengatur   penggunaan   frekuensi   radio penerbangan yang telah dialokasikan oleh menteri yang membidangi urusan frekuensi.



(2)   Frekuensi radio penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya digunakan untuk kepentingan keselamatan penerbangan aeronautika dan non- aeronautika.



PASAL 303


(1) Menteri memberikan rekomendasi penggunaan frekuensi radio untuk menunjang operasi penerbangan di luar frekuensi yang telah dialokasikan.



(2) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk pemberian izin yang diberikan oleh menteri yang membidangi urusan frekuensi.





(3)  Penggunaan frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah setelah mendapat persetujuan dari Menteri.



PASAL 304


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penggunaan frekuensi radio untuk kegiatan penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.







PARAGRAF 2 BIAYA


PASAL 305


(1) Penggunaan frekuensi radio penerbangan untuk aeronautika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (2) tidak dikenakan biaya.



(2) Penggunaan frekuensi radio penerbangan untuk non- aeronautika yang tidak digunakan untuk keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 302 ayat (2) dapat dikenakan biaya.



PASAL 306


Setiap orang dilarang:

menggunakan frekuensi radio penerbangan kecuali untuk penerbangan; dan
menggunakan frekuensi radio yang secara langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan penerbangan.


PASAL 307


Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penggunaan frekuensi radio diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.




BAB XIII KESELAMATAN PENERBANGAN


BAGIAN KESATU PROGRAM KESELAMATAN PENERBANGAN NASIONAL


PASAL 308
(1) Menteri bertanggung jawab terhadap keselamatan penerbangan nasional.

(2) Untuk menjamin keselamatan penerbangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan program keselamatan penerbangan nasional (state safety program).



PASAL 309
(1)   Program keselamatan penerbangan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (2) memuat:

peraturan keselamatan penerbangan;
sasaran keselamatan penerbangan;
sistem pelaporan keselamatan penerbangan;
analisis data dan pertukaran informasi keselamatan penerbangan (safety data analysis and exchange);
kegiatan investigasi kecelakaan dan kejadian penerbangan (accident and incident investigation);
promosi keselamatan penerbangan (safety promotion);
pengawasan keselamatan penerbangan (safety oversight); dan
penegakan hukum (law enforcement).


(2)   Pelaksanaan program keselamatan penerbangan nasional (state safety program) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi secara berkelanjutan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri.



PASAL 310


(1) Sasaran   keselamatan   penerbangan   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) huruf b meliputi:

target kinerja keselamatan penerbangan;
indikator kinerja keselamatan penerbangan; dan
pengukuran pencapaian keselamatan penerbangan.


(2) Target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dipublikasikan kepada masyarakat.



PASAL 311
Ketentuan lebih lanjut mengenai program keselamatan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KEDUA PENGAWASAN KESELAMATAN PENERBANGAN


PASAL 312
(1) Menteri bertanggung jawab terhadap pengawasan keselamatan penerbangan nasional.

(2) Pengawasan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengawasan berkelanjutan untuk melihat pemenuhan peraturan keselamatan penerbangan yang dilaksanakan oleh penyedia jasa penerbangan dan pemangku kepentingan lainnya yang meliputi:

audit;
inspeksi;
pengamatan (surveillance); dan
pemantauan (monitoring).


(3)   Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh unit kerja atau lembaga penyelenggara pelayanan umum.



(4)   Terhadap hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.



(5) Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   pengawasan keselamatan penerbangan, unit kerja, dan lembaga penyelenggara pelayanan umum diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KETIGA PENEGAKAN HUKUM KESELAMATAN PENERBANGAN


PASAL 313


(1)   Menteri   berwenang   menetapkan   program   penegakan hukum dan   mengambil tindakan hukum di bidang keselamatan penerbangan.



(2)   Program penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

tata cara penegakan hukum;
penyiapan personel yang berwenang mengawasi penerapan aturan di bidang keselamatan penerbangan;


pendidikan masyarakat dan penyedia jasa penerbangan serta para penegak hukum; dan
penindakan.


(3)   Tindakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berupa:

sanksi administratif; dan b. sanksi pidana.






BAGIAN KEEMPAT SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN PENYEDIA JASA PENERBANGAN


PASAL 314


(1) Setiap penyedia jasa penerbangan wajib membuat, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyempurnakan secara berkelanjutan sistem manajemen keselamatan (safety management system) dengan berpedoman pada program keselamatan penerbangan nasional.



(2) Sistem   manajemen   keselamatan   penyedia   jasa penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri.



(3) Setiap penyedia jasa penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan izin; dan/atau c. pencabutan izin.


PASAL 315


Sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (1) paling sedikit memuat:

kebijakan dan sasaran keselamatan;
   manajemen risiko keselamatan;
jaminan keselamatan; dan d. promosi keselamatan.


PASAL 316


(1) Kebijakan   dan   sasaran   keselamatan   sebagaimana dimaksud   dalam   Pasal   315   huruf   a   paling   sedikit memuat:

komitmen pimpinan penyedia jasa penerbangan;
penunjukan penanggung jawab utama keselamatan;
pembentukan unit manajemen keselamatan;
penetapan target kinerja keselamatan;
penetapan indikator kinerja keselamatan;
pengukuran pencapaian keselamatan;
dokumentasi data keselamatan; dan
koordinasi penanggulangan gawat darurat.


(2) Penetapan target kinerja keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang akan dicapai harus minimal sama atau lebih baik daripada target kinerja keselamatan nasional.



(3) Target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan harus dipublikasikan kepada masyarakat.



PASAL 317


Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keselamatan penyedia jasa penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KELIMA BUDAYA KESELAMATAN PENERBANGAN


PASAL 318


Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya bertanggung jawab membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan.



PASAL 319


Untuk membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan   sebagaimana   dimaksud   dalam   Pasal   318, Menteri menetapkan kebijakan dan program budaya tindakan keselamatan, keterbukaan, komunikasi, serta penilaian dan penghargaan terhadap tindakan keselamatan penerbangan.



PASAL 320


Untuk membangun dan mewujudkan budaya keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 318, penyedia   jasa   penerbangan   menetapkan   kebijakan   dan program budaya keselamatan.



PASAL 321


(1) Personel penerbangan yang mengetahui terjadinya penyimpangan atau ketidaksesuaian prosedur penerbangan, atau tidak berfungsinya peralatan dan fasilitas penerbangan wajib melaporkan kepada Menteri.



(2) Personel penerbangan yang melaporkan kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi perlindungan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



(3) Personel penerbangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan lisensi atau sertifikat kompetensi;
dan/atau

pencabutan lisensi atau sertifikat kompetensi.


PASAL 322


Ketentuan lebih lanjut mengenai budaya keselamatan penerbangan, tata cara, dan prosedur pengenaan sanksi adminisratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 321 ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.







BAB XIV KEAMANAN PENERBANGAN


BAGIAN KESATU KEAMANAN PENERBANGAN NASIONAL




PASAL 323


(1) Menteri bertanggung jawab terhadap keamanan penerbangan nasional.



(2) Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri berwenang untuk:

membentuk komite nasional keamanan penerbangan;
menetapkan program keamanan penerbangan nasional; dan
mengawasi pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional.


PASAL 324


Komite nasional keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (2) huruf a bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional.



PASAL 325


Program keamanan penerbangan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 323 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:

peraturan keamanan penerbangan;
sasaran keamanan penerbangan;
personel keamanan penerbangan;
pembagian tanggung jawab keamanan penerbangan;
perlindungan bandar udara, pesawat udara, dan fasilitas navigasi penerbangan;
pengendalian dan penjaminan keamanan terhadap orang dan barang di pesawat udara;
penanggulangan tindakan melawan hukum;
penyesuaian sistem keamanan terhadap tingkat ancaman keamanan; serta
pengawasan keamanan penerbangan.


PASAL 326


(1) Dalam melaksanakan program keamanan penerbangan nasional,   Pemerintah dapat melakukan kerja sama dengan negara lain.



(2)   Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

pertukaran informasi;
pendidikan dan pelatihan;
peningkatan kualitas keamanan; serta d. permintaan keamanan tambahan.


PASAL 327


(1)   Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara wajib membuat, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengembangkan program keamanan bandar udara di setiap bandar udara dengan berpedoman pada program keamanan penerbangan nasional.



(2)   Program keamanan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh Menteri.



(3)   Badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara bertanggung jawab terhadap pembiayaan keamanan bandar udara.



PASAL 328


(1)   Setiap otoritas bandar udara bertanggung jawab terhadap pengawasan dan pengendalian program keamanan bandar udara.



(2) Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), otoritas bandar udara membentuk komite keamanan bandar udara.



(3) Komite keamanan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan program keamanan bandar udara.



PASAL 329


(1) Setiap badan usaha angkutan udara wajib membuat, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengembangkan program keamanan angkutan udara dengan berpedoman pada program keamanan penerbangan nasional.



(2) Program keamanan angkutan udara sebagaimana dimaksud   pada   ayat   (1)   dibuat   oleh   badan   usaha angkutan udara dan disahkan oleh Menteri.



(3) Badan usaha angkutan udara bertanggung jawab terhadap pembiayaan keamanan angkutan udara.



PASAL 330


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembuatan atau pelaksanaan program keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KEDUA PENGAWASAN KEAMANAN PENERBANGAN


PASAL 331


(1) Menteri bertanggung jawab terhadap pengawasan keamanan penerbangan nasional.



(2) Pengawasan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengawasan berkelanjutan untuk melihat pemenuhan peraturan keamanan penerbangan yang dilaksanakan oleh penyedia jasa penerbangan atau institusi lain yang terkait dengan keamanan yang meliputi:

audit;
inspeksi;
survei; dan
pengujian (test).


(3)   Terhadap hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.



PASAL 332


Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, dan badan usaha angkutan udara wajib melaksanakan pengawasan internal dan melaporkan hasilnya kepada Menteri.



PASAL 333


Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan keamanan penerbangan nasional diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KETIGA KEAMANAN BANDAR UDARA

PASAL 334


(1)   Orang perseorangan, kendaraan, kargo, dan pos yang akan memasuki daerah keamanan terbatas wajib memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara bagi penumpang pesawat udara, dan dilakukan pemeriksaan keamanan.



(2)   Pemeriksaan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh personel yang berkompeten di bidang keamanan penerbangan.



PASAL 335


(1) Terhadap penumpang, personel pesawat udara, bagasi, kargo, dan pos yang akan diangkut harus dilakukan pemeriksaan dan memenuhi persyaratan keamanan penerbangan.



(2)   Penumpang dan kargo tertentu dapat diberikan perlakuan khusus dalam pemeriksaan keamanan.







PASAL 336


Kantong diplomatik tidak boleh diperiksa, kecuali atas permintaan dari instansi yang berwenang di bidang hubungan luar negeri dan pertahanan negara.



PASAL 337


(1)   Penumpang pesawat udara yang membawa senjata wajib melaporkan dan menyerahkannya kepada badan usaha angkutan udara yang akan mengangkut penumpang tersebut.



(2)   Badan usaha angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas keamanan senjata yang diterima sampai dengan diserahkan kembali kepada pemiliknya di bandar udara tujuan.





PASAL 338


Badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara wajib menyediakan atau menunjuk bagian dari wilayah bandar udara sebagai tempat terisolasi (isolated parking area) untuk penempatan pesawat udara yang mengalami gangguan atau ancaman keamanan.



PASAL 339


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur keamanan pengoperasian bandar udara diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KEEMPAT KEAMANAN PENGOPERASIAN PESAWAT UDARA


PASAL 340


(1) Badan usaha angkutan udara bertanggung jawab terhadap keamanan pengoperasian pesawat udara di bandar udara dan selama terbang.



(2) Tanggung jawab terhadap keamanan pengoperasian pesawat udara   di bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

pemeriksaan keamanan pesawat udara sebelum pengoperasian berdasarkan penilaian risiko keamanan (check and search);
pemeriksaan terhadap barang bawaan penumpang yang tertinggal di pesawat udara;
pemeriksaan terhadap semua petugas yang masuk pesawat udara; dan
pemeriksaan terhadap peralatan, barang, makanan, dan minuman yang akan masuk pesawat udara.


(3) Tanggung jawab terhadap keamanan pengoperasian pesawat udara selama terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan penerbangan;
memberitahu kepada kapten penerbang apabila ada petugas keamanan dalam penerbangan (air marshal) di pesawat udara; dan




memberitahu kepada kapten penerbang adanya muatan barang berbahaya di dalam pesawat udara.


PASAL 341


Penempatan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia hanya dapat dilaksanakan berdasarkan perjanjian bilateral.



PASAL 342


Setiap badan usaha angkutan udara yang mengoperasikan pesawat udara kategori transpor wajib memenuhi persyaratan keamanan penerbangan.



PASAL 343


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan keamanan pengoperasian pesawat udara diatur dengan Peraturan Menteri.







BAGIAN KELIMA PENANGGULANGAN TINDAKAN MELAWAN HUKUM


PASAL 344


Setiap orang dilarang melakukan tindakan melawan hukum (acts of unlawful interference) yang membahayakan keselamatan penerbangan dan angkutan udara berupa:

menguasai secara tidak sah pesawat udara yang sedang terbang atau yang sedang di darat;
menyandera orang di dalam pesawat udara atau di bandar udara;
masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah;
membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin; dan
menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan.


PASAL 345


(1)   Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, dan/atau badan usaha angkutan udara wajib menanggulangi tindakan melawan hukum.



(2) Penanggulangan tindakan melawan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk program penanggulangan keadaan darurat.



PASAL 346


Dalam hal terjadi tindakan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf a dan huruf b, Menteri berkoordinasi serta menyerahkan tugas dan komando penanggulangannya kepada institusi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keamanan.



PASAL 347


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penanggulangan tindakan melawan hukum serta penyerahan tugas dan komando penanggulangan diatur dalam Peraturan Menteri.







BAGIAN KEENAM FASILITAS KEAMANAN PENERBANGAN


PASAL 348


Menteri menetapkan fasilitas keamanan penerbangan yang digunakan dalam mewujudkan keamanan penerbangan.



PASAL 349


Penyediaan fasilitas keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 348 dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan dengan mempertimbangkan:

efektivitas peralatan;
klasifikasi bandar udara; serta
   tingkat ancaman dan gangguan.




PASAL 350


(1) Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan   badan usaha angkutan udara yang menggunakan fasilitas keamanan penerbangan wajib:

menyediakan,   mengoperasikan,   memelihara,   dan memodernisasinya sesuai dengan standar yang ditetapkan;
mempertahankan   keakurasian   kinerjanya   dengan melakukan kalibrasi; dan
melengkapi sertifikat peralatannya.




(2) Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, dan badan usaha angkutan udara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
pembekuan izin atau sertifikat; dan/atau c. pencabutan izin atau sertifikat.


PASAL 351


Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas keamanan penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.







BAB XV PENCARIAN DAN PERTOLONGAN KECELAKAAN PESAWAT UDARA


PASAL 352


(1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab melakukan pencarian dan pertolongan terhadap setiap pesawat udara yang mengalami kecelakaan di wilayah Republik Indonesia.



(2) Pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan cepat, tepat, efektif, dan efisien untuk mengurangi korban.



(3) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib membantu usaha pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan pesawat udara.



PASAL 353


Tanggung jawab pelaksanaan pencarian dan pertolongan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 352 ayat (1) dikoordinasikan dan dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang pencarian dan pertolongan.



PASAL 354


Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan wajib segera memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan.



PASAL 355


Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang bertugas wajib segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan setelah menerima pemberitahuan atau mengetahui   adanya   pesawat   udara   yang   berada   dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan.



PASAL 356


Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan pesawat udara diatur dalam Peraturan Pemerintah.





BAB XVI INVESTIGASI DAN PENYELIDIKAN LANJUTAN KECELAKAAN PESAWAT UDARA


BAGIAN PERTAMA UMUM


PASAL 357


(1) Pemerintah melakukan investigasi dan penyelidikan lanjutan mengenai penyebab setiap kecelakaan dan kejadian serius pesawat udara sipil yang terjadi di wilayah Republik Indonesia.



(2) Pelaksanaan investigasi dan penyelidikan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh komite nasional yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden.



(3) Komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah institusi yang independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya serta memiliki keanggotaan yang dipilih berdasarkan standar kompetensi melalui uji kepatutan dan kelayakan oleh Menteri.



(4) Komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas melakukan kegiatan investigasi, penelitian, penyelidikan lanjutan, laporan akhir, dan memberikan rekomendasi dalam rangka mencegah terjadinya kecelakaan dengan penyebab yang sama.



(5)   Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dan segera ditindaklanjuti oleh para pihak terkait.





BAGIAN KEDUA INVESTIGASI KECELAKAAN PESAWAT UDARA


PASAL 358


(1) Komite nasional wajib melaporkan segala perkembangan dan hasil investigasinya kepada Menteri.



(2) Menteri harus menyampaikan laporan hasil investigasi pesawat tertentu kepada pihak terkait.



(3)   Rancangan   laporan   akhir   investigasi   harus   dikirim kepada   negara   tempat   pesawat   didaftarkan,   negara tempat badan usaha angkutan udara, negara perancang pesawat, dan negara pembuat pesawat untuk mendapatkan tanggapan.



(4) Rancangan laporan akhir investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselesaikan secepat-cepatnya, jika dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, laporan akhir investigasi belum dapat diselesaikan, komite nasional wajib menyampaikan laporan perkembangan (intermediate report) hasil investigasi setiap tahun.





PASAL 359


(1)   Hasil investigasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses peradilan.



(2)   Hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang bukan digolongkan sebagai informasi rahasia, dapat diumumkan kepada masyarakat.



PASAL 360


(1)   Setiap   orang   dilarang   merusak   atau   menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, dan mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara.



(2) Untuk     kepentingan     keselamatan     operasional penerbangan, pesawat udara yang mengalami kecelakaan atau kejadian serius sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahkan atas persetujuan pejabat yang berwenang.



PASAL 361
l

(1) Dalam hal pesawat udara asing mengalami kecelakaan di

wilayah Republik Indonesia, wakil resmi   dari negara

(acredited   representative)   tempat     pesawat     udara

didaftarkan, negara tempat badan usaha angkutan udara, negara tempat perancang pesawat udara, dan negara tempat pembuat pesawat udara dapat diikutsertakan dalam investigasi sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.



(2) Dalam hal pesawat udara yang terdaftar di Indonesia mengalami kecelakaan di luar wilayah Republik Indonesia dan negara tempat terjadinya kecelakaan tidak melakukan investigasi, Pemerintah Republik Indonesia wajib melakukan investigasi.



PASAL 362


(1) Orang perseorangan wajib memberikan keterangan atau bantuan jasa keahlian untuk kelancaran investigasi yang dibutuhkan oleh komite nasional.



(2)   Otoritas bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, dan/atau badan usaha angkutan udara wajib membantu kelancaran investigasi kecelakaan pesawat udara.



PASAL 363


(1)   Pejabat yang berwenang di lokasi kecelakaan pesawat udara wajib melakukan tindakan pengamanan terhadap pesawat udara yang mengalami kecelakaan di luar daerah lingkungan kerja bandar udara untuk:

melindungi     personel     pesawat     udara     dan penumpangnya; dan
mencegah terjadinya tindakan yang dapat mengubah letak pesawat udara, merusak dan/atau mengambil barang-barang dari pesawat udara yang mengalami kecelakaan.


(2)   Tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlangsung sampai dengan berakhirnya pelaksanaan investigasi lokasi kecelakaan oleh komite nasional.







BAGIAN KETIGA PENYELIDIKAN LANJUTAN KECELAKAAN PESAWAT UDARA


PASAL 364


Untuk melaksanakan penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan mediasi   dan penafsiran penerapan regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi penerbangan.



PASAL 365


Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 364 mempunyai tugas:

menegakkan etika profesi dan kompetensi personel di bidang penerbangan;
melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan, personel dan pengguna jasa penerbangan; dan
menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan.




PASAL 366


Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal

365 majelis profesi penerbangan memiliki fungsi:

menjadi penegak etika profesi dan kompetensi personel penerbangan;
menjadi mediator penyelesaian sengketa perselisihan di bidang penerbangan di luar pengadilan; dan
menjadi penafsir penerapan regulasi di bidang penerbangan;


PASAL 367


Majelis profesi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 364 paling sedikit berasal dari unsur profesi, pemerintah, dan masyarakat yang kompeten di bidang:

hukum;
pesawat udara;
navigasi penerbangan;
bandar udara;
kedokteran penerbangan; dan f. Penyidik Pegawai Negeri Sipil.


PASAL 368


Majelis profesi penerbangan berwenang:

memberi rekomendasi kepada Menteri untuk pengenaan sanksi administratif atau penyidikan lanjut oleh PPNS;
menetapkan   keputusan   dalam   sengketa   para   pihak dampak dari kecelakaan atau kejadian serius terhadap pesawat udara; dan
memberikan rekomendasi terhadap penerapan regulasi penerbangan.


PASAL 369


Ketentuan lebih lanjut mengenai investigasi kecelakaan pesawat udara dan penyelidikan lanjutan diatur dengan Peraturan Pemerintah.




BAB XVII PEMBERDAYAAN INDUSTRI DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENERBANGAN


Pasal 370



(1) Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan wajib dilakukan Pemerintah secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait untuk memperkuat transportasi udara nasional.



(2) Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi industri:

rancang bangun, produksi, dan pemeliharaan pesawat udara;
mesin, baling-baling, dan komponen pesawat udara;
fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan;
teknologi, informasi, dan navigasi penerbangan;
kebandarudaraan; serta
fasilitas     pendidikan     dan     pelatihan     personel penerbangan.


(3) Perkuatan transportasi udara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan Pemerintah dengan:

mengembangkan riset pemasaran dan rancang bangun yang laik jual;
mengembangkan   standardisasi   dan   komponen penerbangan dengan menggunakan sebanyak- banyaknya muatan lokal dan alih teknologi;
mengembangkan industri bahan baku dan komponen;
memberikan kemudahan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;
memfasilitasi kerja sama dengan industri sejenis dan/atau pasar pengguna di dalam dan luar negeri; serta
menetapkan kawasan industri penerbangan terpadu.




Pasal 371



Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (1) dilaksanakan dengan mempersiapkan dan mempekerjakan sumber daya manusia nasional yang memenuhi standar kompetensi.



Pasal 372



Pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 370 ayat (1) harus dilaksanakan dengan memenuhi standar keselamatan dan keamanan serta memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.



Pasal 373



Badan usaha angkutan udara, badan usaha bandar udara, dan unit penyelenggara bandar udara, serta lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan wajib mendukung pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan nasional.



Pasal 374



Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.





BAB XVIII SISTEM INFORMASI PENERBANGAN


Pasal 375

(1) Sistem informasi penerbangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi penerbangan untuk:

meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan
mendukung perumusan kebijakan di bidang penerbangan.


(2)   Sistem informasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Menteri.





Pasal 376



Sistem informasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 paling sedikit meliputi:

peraturan penerbangan sipil nasional;
target dan hasil pencapaian kinerja keselamatan penerbangan;
jumlah badan usaha angkutan udara nasional dan asing yang beroperasi;
jumlah dan rincian armada angkutan udara nasional;
rute dan kapasitas tersedia angkutan udara berjadwal domestik dan internasional;
jenis pesawat yang dioperasikan pada rute penerbangan; g.   data lalu lintas angkutan udara di bandar udara umum; h.   tingkat ketepatan waktu jadwal pesawat udara;
tingkat pelayanan angkutan udara;
kelas dan status bandar udara;
fasilitas penunjang bandar udara; serta
hasil investigasi kecelakaan dan kejadian pesawat udara yang tidak digolongkan informasi yang bersifat rahasia.


Pasal 377



Penyelenggaraan sistem informasi penerbangan dilakukan dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi secara efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.



Pasal 378



Iklan di daerah lingkungan kerja bandar udara harus memenuhi ketentuan:

tidak   mengganggu   keselamatan   dan   keamanan penerbangan;
tidak mengganggu informasi dan pelayanan penerbangan;
dan

tidak merusak estetika bandar udara.


Pasal 379



(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang penerbangan wajib menyampaikan data dan informasi kegiatannya kepada Menteri.



(2) Menteri melakukan pemutakhiran data dan informasi penerbangan secara periodik untuk menghasilkan data dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan, akurat, terkini, dan dapat dipertanggungjawabkan.



(3)   Data dan informasi penerbangan didokumentasikan dan dipublikasikan serta dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.



(4) Pengelolaan sistem informasi penerbangan oleh Menteri dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.



(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan pengelolaan sistem informasi penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.



Pasal 380



(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 379 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif.



(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta besarnya denda administratif diatur dengan Peraturan Menteri.







BAB XIX SUMBER DAYA MANUSIA
BAGIAN KESATU PENYEDIAAN DAN PENGEMBANGAN


Pasal 381



(1)   Pemerintah bertanggung jawab terhadap penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan.



(2)   Penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan sumber daya manusia yang profesional, kompeten, disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki integritas.



(3) Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) terdiri atas sumber daya manusia di bidang:

pesawat udara;
angkutan udara;
kebandarudaraan;
navigasi penerbangan;
keselamatan penerbangan; dan f. keamanan penerbangan.


(4)   Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri menetapkan kebijakan penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan yang mencakup:

perencanaan sumber daya manusia (manpower




planning);
pendidikan dan pelatihan;

d. perluasan kesempatan kerja; serta pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.


(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KEDUA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DI BIDANG PENERBANGAN


Pasal 382



(1) Pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan dilaksanakan dalam kerangka sistem pendidikan nasional.



(2) Menteri bertanggung jawab atas pembinaan dan terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.



(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

paling sedikit meliputi:

peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga pendidik di bidang penerbangan;
kurikulum dan silabus serta metoda pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan sesuai dengan standar yang ditetapkan;


penataan, penyempurnaan, dan sertifikasi organisasi atau manajemen lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan; serta
modernisasi dan peningkatan teknologi sarana dan prasarana belajar mengajar pada lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.


Pasal 383



(1)   Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 382 diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat melalui jalur pendidikan formal dan/atau nonformal.



(2)   Jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



(3)   Jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh satuan pendidikan nonformal di bidang penerbangan yang telah mendapat persetujuan Menteri.



Pasal 384



(1)   Pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia di bidang penerbangan disusun dalam model yang ditetapkan oleh Menteri.



(2) Model pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan;
persyaratan peserta pendidikan dan pelatihan;
kurikulum silabus dan metode pendidikan dan pelatihan;
persyaratan tenaga pendidik dan pelatih;
standar prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan;
persyaratan     penyelenggaraan     pendidikan     dan pelatihan;
standar penetapan biaya pendidikan dan pelatihan;
serta

pengendalian dan pengawasan terhadap pendidikan dan pelatihan.




Pasal 385



Pemerintah mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.



Pasal 386



Pemerintah daerah membantu dan memberikan kemudahan untuk terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan.



Pasal 387



Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang penerbangan diatur dengan Peraturan Menteri.



BAGIAN KETIGA SERTIFIKAT KOMPETENSI DAN LISENSI


Pasal 388



Penyelenggara pendidikan dan pelatihan wajib memberikan sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang telah dinyatakan lulus pendidikan dan pelatihan.



Pasal 389



Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 dapat diberi lisensi oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan.

Pasal 390



Dalam menjalankan pekerjaannya, setiap personel di bidang penerbangan wajib memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan untuk bidang pekerjaannya.



Pasal 391



Penyedia jasa penerbangan dan organisasi yang menyelenggarakan kegiatan di bidang penerbangan wajib:

mempekerjakan personel penerbangan yang memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 389;




menyusun program pelatihan di bidang penerbangan untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi personel penerbangan yang dipekerjakannya.


Pasal 392



Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dengan Peraturan Menteri.





BAGIAN KEEMPAT KONTRIBUSI PENYEDIA JASA PENERBANGAN


Pasal 393



(1)   Penyedia jasa penerbangan dan organisasi yang memiliki kegiatan di bidang penerbangan wajib memberikan kontribusi dalam menunjang penyediaan dan pengembangan personel di bidang penerbangan.



(2) Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:

pemberian beasiswa pendidikan dan pelatihan;
pembangunan lembaga dan/atau penyediaan fasilitas pendidikan dan pelatihan;
kerja sama dengan lembaga pendidikan dan pelatihan yang ada; dan/atau
pemberian kesempatan kepada peserta pendidikan dan pelatihan untuk praktek kerja.


Pasal 394



Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 393 dikenakan sanksi administratif berupa:

peringatan;
denda administratif;
pembekuan izin; atau d. pencabutan izin.




BAGIAN KELIMA PENGATURAN WAKTU KERJA


Pasal 395



(1) Untuk menjamin keselamatan penerbangan harus dilakukan pengaturan hari kerja, pembatasan jam kerja, dan persyaratan jam istirahat bagi personel operasional penerbangan.



(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan hari kerja, pembatasan jam kerja, dan persyaratan jam istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.





BAB XX PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 396

(1) Dalam   rangka   meningkatkan   penyelenggaraan penerbangan secara optimal masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam kegiatan penerbangan.



(2)   Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan kegiatan penerbangan;
memberikan masukan kepada Pemerintah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang penerbangan;
memberikan     masukan     kepada     Pemerintah, pemerintah daerah dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan penerbangan;
a

menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepad .
pejabat yang berwenang terhadap kegiatan

penyelenggaraan penerbangan yang mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan;

melaporkan apabila mengetahui terjadinya ketidak- sesuaian prosedur penerbangan, atau tidak berfungsinya peralatan dan fasilitas penerbangan;
melaporkan apabila mengetahui terjadinya kecelakaan atau kejadian terhadap pesawat udara;


mengutamakan   dan   mempromosikan   budaya keselamatan penerbangan; dan/atau
melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan penerbangan yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.


(3) Pemerintah, pemerintah daerah, dan penyedia jasa penerbangan menindaklanjuti masukan, pendapat, dan laporan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f.



(4)   Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud pada   ayat   (2),   masyarakat   ikut   bertanggung   jawab menjaga ketertiban serta keselamatan dan keamanan penerbangan.



Pasal 397



Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal

396 ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi

kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.



Pasal 398



Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Menteri.







BAB XXI PENYIDIKAN
Pasal 399

(1)   Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penerbangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.



(2)   Dalam pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara Republik Indonesia.



Pasal 400



(1) Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 dilaksanakan sebagai berikut:

meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penerbangan;
menerima laporan tentang adanya tindak pidana di bidang penerbangan;
memanggil   orang   untuk   didengar   dan   diperiksa sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana di bidang penerbangan;
melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;
meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;
memotret     dan/atau     merekam     melalui     media elektronik terhadap orang, barang, pesawat udara, atau hal yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang penerbangan;
memeriksa dokumen yang terkait dengan tindak pidana penerbangan;
mengambil sidik jari dan identitas orang;
menggeledah   pesawat   udara   dan   tempat-tempat tertentu yang dicurigai adanya tindak pidana di bidang penerbangan;
menyita benda yang diduga kuat merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang penerbangan;
mengisolasi dan mengamankan barang dan/atau dokumen yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang penerbangan;
mendatangkan saksi ahli yang diperlukan;
menghentikan proses penyidikan; dan
meminta bantuan polisi Negara Republik Indonesia atau instansi lain terkait untuk melakukan penanganan tindak pidana di bidang penerbangan.


(2)   Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 399 menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.



BAB XXII KETENTUAN PIDANA
Pasal 401



Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 402



Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 403



Setiap orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 404



Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai tanda pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 405



Setiap orang yang memberikan tanda-tanda atau mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).



Pasal 406



(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan sebagaimana dimaksud   dalam   Pasal 34   dipidana   dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).



(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).



(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).



Pasal 407



Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat operator pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua   miliar lima ratus juta rupiah).



Pasal 408



Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 409



Setiap orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) yang melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).



Pasal 410



Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia dan melakukan pendaratan dan/atau tinggal landas dari bandar udara yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau denda Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 411



Setiap orang dengan sengaja menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 412



(1) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



(2) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).



(3) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengambil atau merusak peralatan pesawat udara yang membahayakan keselamatan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54   huruf c   dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).



(4) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengganggu ketenteraman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54   huruf e   dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).





(5) Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi     penerbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf f   dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).



(6)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) mengakibatkan kerusakan atau kecelakaan pesawat dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).



(7)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) mengakibatkan cacat tetap atau matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.



Pasal 413



(1)   Setiap personel pesawat udara yang melakukan tugasnya tanpa memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).



(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   mengakibatkan   matinya   orang,   dipidana   dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 414



Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).





Pasal 415



Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil asing yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelaikudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).



Pasal 416



Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 417



Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 418



Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).



Pasal 419



(1) Setiap orang yang melakukan pengangkutan barang khusus dan berbahaya yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   mengakibatkan   matinya   orang,   dipidana   dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.





Pasal 420



Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga   yang   melanggar   ketentuan   pengangkutan   barang khusus dan/atau berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).



Pasal 421



(1)   Setiap orang berada di daerah tertentu di bandar udara, tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).



(2) Setiap orang membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 422



(1)   Setiap orang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).



(3)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   mengakibatkan   matinya   orang,   dipidana   dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).





Pasal 423



(1) Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).



(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   mengakibatkan   matinya   orang,   dipidana   dengan pidana penjara   paling   lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 424



(1) Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) berupa kematian atau luka fisik orang yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).



(2) Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) berupa:

musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan; dan/atau
dampak lingkungan di sekitar bandar udara,
yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2) huruf b dan huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama

10   (sepuluh)   tahun   dan   denda   paling   banyak

Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 425



Setiap orang yang melaksanakan kegiatan di bandar udara yang tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).





Pasal 426



Setiap orang yang membangun bandar udara khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 427



Setiap orang yang mengoperasikan   bandar udara khusus dengan melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).



Pasal 428



(1)   Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang digunakan untuk kepentingan umum tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).



(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).



Pasal 429



Setiap orang yang menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan tidak memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 430



(1)   Personel navigasi penerbangan yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).



(2)   Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)   mengakibatkan   matinya   orang,   dipidana   dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 431



(1) Setiap orang yang menggunakan frekuensi radio

penerbangan selain untuk kegiatan penerbangan atau

menggunakan frekuensi radio penerbangan yang secara

langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan

penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).



(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).



Pasal 432



Setiap orang yang akan memasuki daerah keamanan terbatas tanpa memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 433



Setiap orang yang menempatkan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia tanpa adanya perjanjian bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).



Pasal 434



Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara kategori transpor tidak memenuhi persyaratan keamanan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).





Pasal 435



Setiap orang yang masuk ke dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama

1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 436



(1)   Setiap   orang   yang   membawa   senjata,   barang   dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.



(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.



(3)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.



Pasal 437



(1) Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344   huruf e dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.



(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.



(3)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.







Pasal 438



(1)   Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain   yang   diindikasikan   sedang   menghadapi   bahaya dalam penerbangan, tidak memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 sehingga berakibat terjadinya kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.



(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.





Pasal 439



(1) Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang pada saat bertugas menerima pemberitahuan atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan tidak segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama

8 (delapan) tahun.





(2)   Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.





Pasal 440





Setiap orang yang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 ayat (1) dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



Pasal 441



(1) Tindak pidana di bidang penerbangan dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.



(2) Dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.



Pasal 442



Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.



Pasal 443



Dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan

3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini.





BAB XXIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 444



Setiap kepentingan internasional dalam objek pesawat udara yang dibuat sesuai dengan dan setelah berlakunya ketentuan dalam konvensi tentang Kepentingan Internasional dalam Peralatan Bergerak (Convention on International Interests in Mobile Equipment) dan protokol mengenai Masalah-Masalah Khusus pada Peralatan Pesawat Udara (Protocol to the Convention on Interests on Mobile Equipment on Matters Specific to Aircraft Equipment) tersebut di Indonesia yang telah didaftarkan pada kantor pendaftaran internasional tetap sah dan dapat dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini sampai dihapusnya pendaftaran atau berakhirnya masa berlaku sebagaimana tercantum dalam pendaftaran.





Pasal 445



Badan usaha yang telah memiliki izin usaha angkutan udara niaga berjadwal dan niaga tidak berjadwal pada saat Undang- Undang ini diundangkan tetap dapat menjalankan usahanya sesuai dengan izin yang dimiliki dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun.



Pasal 446



Kantor administrator bandar udara, kantor bandar udara, dan cabang badan usaha kebandarudaraan tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya otoritas bandar udara berdasarkan Undang-Undang ini.



Pasal 447



Bandar udara umum dan bandar udara khusus yang telah diselenggarakan   berdasarkan   Undang-Undang   Nomor 15

Tahun 1992 tentang Penerbangan tetap dapat menyelenggarakan kegiatannya dan wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini     paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.



Pasal 448



(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perjanjian kerja sama badan usaha milik negara yang telah menyelenggarakan usaha bandar udara dengan pihak ketiga   tetap   berlaku   sampai   perjanjian   kerja   sama tersebut berakhir.



(2) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perjanjian kerja sama badan usaha milik negara yang menyelenggarakan usaha bandar udara dengan pihak ketiga dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang ini.



Pasal 449



Komite Nasional Keselamatan Transportasi tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai terbentuknya komite nasional berdasarkan Undang-Undang ini.





Pasal 450



Fungsi pelayanan sertifikasi dan pengawasan tetap dilaksanakan secara fungsional oleh unit di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sampai terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan umum berdasarkan Undang-Undang ini.



Pasal 451



Pada saat Undang-Undang ini berlaku, unit pelaksana teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, dan badan usaha milik negara yang menyelenggarakan penyelenggaraan navigasi penerbangan tetap menyelenggarakan kegiatan penyelenggaraan navigasi penerbangan sampai terbentuknya lembaga penyelenggara pelayanan navigasi berdasarkan Undang-Undang ini.



BAB XXIV KETENTUAN PENUTUP
Pasal 452

(1)   Peraturan Pemerintah pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang- Undang ini berlaku.



(2) Peraturan Menteri pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang- Undang ini berlaku.



Pasal 453



Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, kegiatan usaha bandar udara yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan badan usaha milik negara wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini.



Pasal 454



Badan usaha yang telah memiliki izin usaha angkutan udara niaga berjadwal dan niaga tidak berjadwal pada saat Undang- Undang ini diundangkan, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lambat 3 (tiga) tahun.





Pasal 455



Otoritas bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara harus sudah terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini berlaku.



Pasal 456



Tatanan kebandarudaraan nasional harus disesuaikan dan ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.



Pasal 457



Rencana induk bandar udara pada bandar udara yang beroperasi harus disesuaikan dan ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.



Pasal 458



Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.



Pasal 459



Lembaga penyelenggara pelayanan umum harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.



Pasal 460



Lembaga   penyelenggara   pelayanan   navigasi   penerbangan harus terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang- Undang ini berlaku.



Pasal 461



Program keselamatan penerbangan nasional harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.





Pasal 462



Komite nasional harus sudah terbentuk paling lambat 2 (dua)

tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.



Pasal 463



Program keamanan penerbangan nasional harus ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.



Pasal 464



Pada saat Undang-Undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.



Pasal 465



Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3481) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.







Pasal 466



Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.



Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.







Disahkan di Jakarta



Pada tanggal 12 Januari 2009





PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO






Diundangkan di Jakarta



Pada tanggal 12 Januari 2009





MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,







ttd.





ANDI MATTALATTA







LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 1



Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA RI Kepala Biro Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri,













Setio Sapto Nugroho



























PENJELASAN  ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2009

TENTANG





PENERBANGAN









UMUM


Berkat rahmat   Tuhan Yang Maha   Esa Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri dari beribu pulau, terletak memanjang di garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua samudera, serta ruang udara yang luas. Oleh karena itu, Indonesia mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis dalam hubungan internasional.



Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional, diperlukan sistem transportasi nasional yang memiliki posisi penting dan strategis dalam pembangunan nasional yang berwawasan lingkungan. Transportasi juga merupakan sarana dalam memperlancar roda perekonomian, membuka akses ke daerah pedalaman atau terpencil, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, menegakkan kedaulatan negara, serta mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat.



Pentingnya transportasi tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang di dalam negeri, dari dan ke luar negeri, serta berperan sebagai pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah dan pengembangan wilayah. Menyadari peran transportasi tersebut, penyelenggaraan penerbangan harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan, selamat, aman, efektif, dan efisien.



Penerbangan yang mempunyai karakteristik dan keunggulan tersendiri, perlu dikembangkan agar mampu meningkatkan pelayanan yang lebih luas, baik domestik maupun internasional. Pengembangan penerbangan ditata dalam satu kesatuan sistem dengan mengintegrasikan dan mendinamisasikan prasarana dan sarana penerbangan,     metoda, prosedur, dan peraturan sehingga berdaya guna serta berhasil guna.





Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan perlu disempurnakan guna menyelaraskan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan paradigma dan lingkungan strategis, termasuk otonomi daerah, kompetisi di tingkat regional dan global, peran serta masyarakat, persaingan usaha, konvensi internasional tentang penerbangan, perlindungan profesi, serta perlindungan konsumen.



Dalam penyelenggaraan penerbangan, Undang-Undang ini bertujuan mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat, memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, membina jiwa kedirgantaraan, menjunjung kedaulatan negara, menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional, menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antarbangsa, serta berasaskan manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, keserasian dan keselarasan, kepentingan umum, keterpaduan, tegaknya hukum, kemandirian, anti monopoli dan keterbukaan, berwawasan lingkungan hidup, kedaulatan negara, kebangsaan, serta kenusantaraan.



Atas dasar hal tersebut disusunlah undang-undang tentang penerbangan yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang nomor 15 tahun

1992, sehingga penyelenggaraan penerbangan sebagai sebuah sistem

dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, serta memupuk dan mengembangkan jiwa kedirgantaraan dengan mengutamakan faktor keselamatan, keamanan, dan kenyamanan.



Dalam   Undang-Undang   ini   diatur   mengenai   hak,   kewajiban,   serta tanggung jawab hukum para penyedia jasa dan para pengguna jasa, dan tanggung jawab hukum penyedia jasa terhadap kerugian pihak ketiga sebagai akibat dari penyelenggaraan penerbangan serta kepentingan internasional atas objek pesawat udara yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Di samping itu, dalam rangka pembangunan hukum nasional serta untuk lebih memantapkan perwujudan kepastian hukum, Undang-Undang ini juga memberikan perlindungan konsumen tanpa mengorbankan kelangsungan hidup penyedia jasa transportasi serta memberi kesempatan yang lebih luas kepada daerah untuk mengembangkan usaha-usaha tertentu di bandar udara yang tidak terkait langsung dengan keselamatan penerbangan.



Dalam Undang-Undang ini telah dilakukan perubahan paradigma yang nyata dalam rangka pemisahan yang tegas antara fungsi regulator, operator, dan penyedia jasa penerbangan. Di samping itu, juga dilakukan penggabungan beberapa penyelenggara yang ada menjadi satu penyelenggara pelayanan navigasi serta untuk sertifikasi dan registrasi pesawat udara juga dibentuk unit pelayanan otonom, dengan mengutamakan keselamatan dan keamanan penerbangan, yang tidak berorientasi pada keuntungan, secara finansial dapat mandiri, serta biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery).



Penerbangan sebagai satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya yang pokok-pokoknya dapat diuraikan sebagai berikut.



Pemanfaatan wilayah udara merupakan implementasi dari kedaulatan Negara Republik Indonesia yang utuh dan eksklusif atas ruang udaranya, yang memuat tatanan ruang udara nasional, penyelenggaraan pelayanan, personel dan fasilitas navigasi penerbangan, serta pengaturan tentang tata cara navigasi, komunikasi penerbangan, pengamatan dan larangan mengganggu pelayanan navigasi penerbangan, termasuk pemberian sanksi.


Tatanan ruang udara nasional ditetapkan untuk mewujudkan penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan yang andal dalam rangka keselamatan penerbangan dengan mengacu pada peraturan nasional dan regulasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organisation/ICAO) yang terkait dengan penetapan dan penggunaan ruang udara. Dalam penggunaan ruang udara tersebut, diberikan pelayanan oleh Pemerintah selaku penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, terdiri atas pelayanan lalu lintas penerbangan, komunikasi penerbangan, informasi aeronautika, informasi meteorologi penerbangan, serta informasi pencarian dan pertolongan. Guna mendukung kelancaran kegiatan penerbangan serta keselamatan penerbangan, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan menyiapkan personel yang kompeten, memasang dan mengoperasikan serta merawat fasilitas navigasi penerbangan.



Untuk menjaga keselamatan penerbangan, dalam tata cara bernavigasi, penyelenggara dan pengguna pelayanan navigasi penerbangan diwajibkan mematuhi semua ketentuan yang berlaku. Di samping itu, diatur izin penggunaan frekuensi radio yang dialokasikan   untuk   penerbangan,   dan   pemberian   rekomendasi





penggunaan frekuensi radio di luar alokasi frekuensi yang sudah ditetapkan untuk kegiatan penerbangan, serta dilakukan pembatasan, larangan, dan sanksi terhadap kegiatan yang mengganggu pelayanan navigasi penerbangan.



Wilayah udara Republik Indonesia yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasikan dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.



Karena penting dan strategisnya peranan penerbangan untuk hajat hidup orang banyak, penerbangan dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dengan memperkuat kelembagaan yang bertanggung jawab di bidang penerbangan berupa penataan struktur kelembagaan, peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, peningkatan pengelolaan anggaran yang efektif, efisien, dan fleksibel berdasarkan skala prioritas, peningkatan kesejahteraan sumber daya manusia, pengenaan sanksi kepada pejabat dan/atau pegawai atas pelanggaran dalam pelaksanaan ketentuan Undang-Undang ini. Pembinaan yang dilakukan   oleh Pemerintah tersebut meliputi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.


Dalam rangka menghadapi perkembangan dunia penerbangan tanpa batas hak angkut (open sky policy), kerja sama bilateral, multilateral, dan plurilateral, asas resiprokal, keadilan (fairness), dan cabotage, aliansi penerbangan, jaringan rute pengumpul (hub) dan pengumpan (spoke), serta perkuatan industri penerbangan dalam negeri, pengaturan angkutan udara difokuskan untuk menciptakan iklim yang kondusif di bidang jasa angkutan udara, dengan menetapkan hak dan kewajiban yang seimbang, standar pelayanan prima, dengan mengutamakan perlindungan terhadap pengguna jasa.


Dalam Undang-Undang ini juga diatur persyaratan badan usaha angkutan udara agar mampu tumbuh sehat, berkembang, dan kompetitif secara nasional dan internasional. Selanjutnya, untuk membuka daerah-daerah terpencil di seluruh wilayah Indonesia, Undang-Undang ini tetap menjamin pelayanan angkutan udara perintis dalam upaya memberikan stimulus bagi daerah-daerah guna peningkatan kegiatan ekonomi.



Dalam upaya pemberdayaan industri penerbangan nasional, Undang- Undang ini juga memuat ketentuan mengenai kepentingan internasional atas objek pesawat udara yang mengatur objek pesawat





udara dapat dibebani dengan kepentingan internasional yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian sewa guna usaha. Pengaturan tersebut mengacu pada Konvensi Internasional dalam peralatan bergerak (Convention on international interest in mobile equipment) dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan pesawat udara (Protocol to the convention on interest in mobile equipment on matters specific to Aircraft equipment), sebagai konsekuensi diratifikasinya konvensi dan protokol yang biasa disebut Cape Town Convention.



Dalam rangka menjamin penyelenggaraan kebandarudaraan sebagai pusat kegiatan pelayanan angkutan udara dan unit bisnis yang efektif, efisien, dan mampu menggerakkan perekonomian wilayah, Undang-Undang ini mengatur persyaratan, prosedur, dan standar kebandarudaraan, tatanan kebandarudaraan nasional, penetapan lokasi, pengoperasian, fasilitas dan personel bandar udara, pengendalian daerah lingkungan kerja, dan kawasan keselamatan operasi penerbangan di sekitar bandar udara untuk kepentingan keselamatan dan keamanan penerbangan, serta kelestarian lingkungan.


Dalam penyelenggaraan bandar udara diatur juga pemisahan yang tegas antara regulator dan operator bandar udara dengan dibentuknya Otoritas Bandar Udara, serta memberi peluang lebih luas terhadap peran serta swasta dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan bandar udara.



Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan penerbangan yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan, Undang-Undang ini mengatur penetapan program keselamatan penerbangan nasional, program keamanan penerbangan nasional, dan program budaya tindakan keselamatan yang mengacu pada regulasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Program keselamatan penerbangan nasional memuat peraturan keselamatan, sasaran keselamatan, sistem pelaporan keselamatan, analisis data dan pertukaran informasi keselamatan   (safety data analysis and exchange), kegiatan investigasi kecelakaan dan kejadian (accident and incident investigation), promosi keselamatan   (safety promotion), pengawasan keselamatan   (safety oversight), dan penegakan hukum (law enforcement). Sedangkan program keamanan penerbangan nasional memuat peraturan keamanan, sasaran keamanan, personel keamanan, pembagian tanggung jawab keamanan, perlindungan bandar udara, pesawat udara, dan fasilitas navigasi, pengendalian dan penjaminan keamanan terhadap orang dan barang di pesawat udara, penanggulangan tindakan melawan hukum, penyesuaian




sistem keamanan terhadap tingkat ancaman keamanan, dan pengawasan keamanan penerbangan.



Dalam upaya memberikan jaminan pelayanan sertifikasi dan inspeksi keselamatan yang kredibel, transparan, dan akuntabel, serta meningkatkan kompetensi sumber daya manusia untuk penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, Undang-Undang ini mengatur pembentukan penyelenggara pelayanan umum yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan pola penganggaran berbasis kinerja dengan skala prioritas, efisiensi, dan efektivitas.


Untuk mengetahui penyebab setiap kecelakaan dan kejadian serius pesawat udara sipil dan dalam rangka menegakkan etika profesi, melaksanakan mediasi, dan menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dengan penyebab yang sama, diatur pula pembentukan komite nasional yang bertanggung jawab kepada Presiden, dan untuk keperluan penyelidikan lanjutan, komite tersebut membentuk majelis profesi penerbangan.


Dalam Undang-Undang ini diatur pula sistem informasi penerbangan melalui jaringan informasi yang efektif, efisien, dan terpadu dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan penerbangan secara optimal, diatur peran serta masyarakat dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.


Dengan diundangkannya Undang-Undang ini, berbagai ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan nasional dan internasional sepanjang tidak bertentangan tetap berlaku dan merupakan peraturan yang saling melengkapi.



Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis dan operasional diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan peraturan pelaksanaan lainnya.







PASAL DEMI PASAL




Pasal 2

Huruf a

Yang dimaksud dengan ”asas manfaat” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar- besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara.



Huruf b

Yang dimaksud dengan ”asas usaha bersama dan kekeluargaan” adalah penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.



Huruf c

Yang dimaksud dengan ”asas adil dan merata” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata tanpa diskriminasi kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan keturunan serta tingkat ekonomi.



Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional.



Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas kepentingan umum” adalah penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas.





Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas keterpaduan” adalah penyelenggaraan penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi, baik intra maupun antarmoda transportasi.



Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas tegaknya hukum” adalah undang- undang ini mewajibkan Pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan penerbangan.



Huruf h

Yang dimaksud dengan “asas kemandirian” adalah penyelenggaraan penerbangan harus bersendikan pada kepribadian bangsa, berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, mengutamakan kepentingan nasional dalam penerbangan, dan memperhatikan pangsa muatan yang wajar dalam angkutan di perairan dari dan ke luar negeri.



Huruf i

Yang dimaksud dengan ”asas keterbukaan dan anti-monopoli” adalah penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.



Huruf j

Yang dimaksud dengan “asas berwawasan lingkungan hidup” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilakukan selaras dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup.



Huruf k

Yang dimaksud dengan “asas kedaulatan negara” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilakukan selaras dengan upaya menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.





Huruf l

Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah penyelenggaraan penerbangan harus dapat mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.



Huruf m

Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah setiap penyelenggaraan penerbangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan penyelenggaraan penerbangan yang dilakukan oleh daerah merupakan bagian dari sistem penerbangan nasional yang berdasarkan Pancasila.



Pasal 5

Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional dan Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea.



Ketentuan dalam pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia, sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan perundang- undangan di bidang pertahanan negara.



Untuk dapat menjaga kedaulatan wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus dilakukan penguasaan dan pengembangan teknologi agar Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat setinggi mungkin menguasai wilayah udaranya untuk kepentingan yang seluas-luasnya bagi masyarakat khususnya untuk kepentingan penerbangan.



Pasal 6

Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.



Pasal 7

Ayat (1)

Kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka keselamatan masyarakat luas, keselamatan penerbangan, perekonomian nasional, lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.



Yang dimaksud dengan “kawasan udara terlarang (prohibited area)” adalah kawasan udara dengan pembatasan yang bersifat permanen dan menyeluruh bagi semua pesawat udara. Pembatasan hanya dapat ditetapkan di dalam wilayah udara Indonesia, sebagai contoh instalasi nuklir atau istana Presiden.



Yang dimaksud dengan “kawasan udara terbatas (restricted area)” adalah kawasan udara dengan pembatasan bersifat tidak tetap dan hanya dapat digunakan untuk operasi penerbangan tertentu (pesawat udara TNI). Pada waktu tidak digunakan (tidak aktif), kawasan ini dapat digunakan untuk penerbangan sipil. Pembatasan dapat berupa pembatasan ketinggian dan hanya dapat ditetapkan di dalam wilayah udara Indonesia, misalnya instalasi atau kawasan militer.



Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “melanggar wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia” adalah memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin.



Ayat (3)

Informasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini diperlukan untuk langkah tindak lanjut yang dilakukan oleh aparat yang tugas dan bertanggung jawab di bidang pertahanan negara.



Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “seluruh muatannya” adalah semua yang terangkut dalam pesawat udara antara lain penumpang, kargo, pos, dan perlengkapan lainnya yang ada dalam pesawat udara.





Pasal 10

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “dikuasai oleh negara” adalah bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan penerbangan yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.





Pasal 11

Yang dimaksud dengan “sesuai dengan kewenangannya” adalah kewenangan yang telah diserahkan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang- undangan.

Pasal 15

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “uji tipe”, antara lain, meliputi:

pengujian rangka;
pengujian mesin;
pengujian fungsi sistem di darat;
pengujian fungsi sistem di udara; dan e. pengujian kemampuan terbang.


Pasal 18

Huruf b

Dalam sertifikat tipe tambahan antara lain termasuk pemberian sertifikat peralatan telekomunikasi di pesawat udara untuk mencegah ancaman keselamatan dan keamanan penerbangan, misalnya peralatan telekomunikasi tersebut tidak mengganggu (interferensi) navigasi penerbangan.



Pasal 24

Tanda pendaftaran dapat berupa tanda pendaftaran Indonesia atau tanda pendaftaran asing.



Pasal 25

Yang dimaksud dengan “tanda pendaftaran Indonesia” terdiri atas 3 (tiga) huruf.



Huruf c

Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah perjanjian sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk perjanjian lainnya yang tunduk pada hukum yang disepakati para pihak;





Pasal 27

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tanda kebangsaan Indonesia” adalah pemberian identitas di pesawat udara yang saat ini digunakan Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari 2 (dua) huruf yaitu PK. Untuk itu, tidak semua pesawat udara yang telah didaftarkan harus diberikan tanda kebangsaan.

Tanda Kebangsaan Indonesia melekat pada sertifikat pendaftaran.



Ayat (3)

Pembebasan dari tanda kebangsaan dengan pertimbangan bahwa pesawat udara tersebut daerah operasinya dibatasi dan penerbangan yang akan dilakukan tidak melewati batas wilayah teritorial (beroperasi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonseia).



Pembebasan tanda   kebangsaan Indonesia tidak berarti tidak memiliki tanda pendaftaran.



Pasal 29

Huruf a

Angka 6)

Yang dimaksud dengan “sengaja dirusak atau dihancurkan” dalam ketentuan ini adalah pesawat tersebut tidak akan digunakan lagi atau dialih fungsi pengunaannya seperti sebagai bahan praktek pendidikan, atau barang pajangan.



Angka 7)

Yang   dimaksud   dengan   “cedera   janji”   adalah   penyewa pesawat udara tidak memenuhi kesepakatan dalam perjanjian.



Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada huruf a angka 7)   mengacu   kepada   konvensi   tentang   kepentingan internasional   dalam   peralatan   bergerak   (Convention on International Interest in Mobile Equipment).



Pasal 36

Yang dimaksud dengan:



“kategori transpor” terbatas pada pesawat terbang yang beban maksimal pada saat lepas landas (maximum take off weight/MTOW) lebih besar atau sama dengan 5.700 kilogram.


“kategori normal” terbatas pada pesawat terbang yang memiliki konfigurasi tempat duduk (seat) untuk lebih kecil atau sama dengan 9 (sembilan) penumpang selain tempat duduk pilot, beban maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama dengan 5.700 kilogram dan untuk pengoperasian non-aerobatik.


“kategori kegunaan” terbatas pada pesawat terbang yang memiliki konfigurasi tempat duduk untuk lebih kecil atau sama dengan 9 (sembilan) penumpang selain tempat duduk pilot, beban maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama 5.700 kilogram dan untuk pengoperasian aerobatik yang terbatas (limited aerobatic).


“kategori aerobatik” terbatas pada pesawat terbang yang memiliki konfigurasi tempat duduk untuk lebih kecil atau sama dengan 9 (sembilan) penumpang selain tempat duduk pilot, beban maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama dengan 5.700 kilogramdan untuk pengoperasian tanpa batas (full aerobatic).


“kategori komuter“ terbatas pada pesawat terbang yang memiliki baling-baling pendorong (propeller), bermesin lebih dari satu (multiengines), memiliki konfigurasi tempat duduk lebih kecil atau sama dengan 19 selain tempat duduk pilot, beban maksimal pada saat lepas landas lebih kecil atau sama dengan 8.500 kilogram dan untuk pengoperasian non-aerobatik.


Pasal 38

Yang dimaksud dengan:

“Penggunaan pesawat udara secara terbatas” adalah penggunaan dan pengoperasian pesawat udara secara terbatas untuk tujuan khusus antara lain pertanian, konservasi hutan, pemetaan, patroli, pemantauan cuaca, hujan buatan, dan periklanan.


Penggunaan pesawat udara untuk percobaan adalah penggunaan dan pengoperasian pesawat udara untuk tujuan:
1) penelitian dan pengembangan (research & development);

2) pembuktian kesesuaian dengan peraturan-peraturan

(showing compliance with regulations);

3) pelatihan awak pesawat (crew training);

4) pameran (exhibition);

5) perlombaan balap udara (air racing);

6) survei pasar (market surveys); dan

7) kegemaran/hobi kedirgantaraan.



Penggunaan pesawat udara untuk kegiatan penerbangan yang bersifat khusus adalah izin terbang khusus yang diterbitkan untuk pengoperasian pesawat udara untuk keperluan:
1) perbaikan atau perawatan;

2) pengiriman atau ekspor pesawat udara;

3) uji terbang produksi (production flight test);

4) evakuasi pesawat dari daerah berbahaya; atau

5) demonstrasi terbang.





Pasal 42

Huruf e

Yang dimaksud dengan “personel manajemen yang kompeten” adalah personel yang telah memiliki sertifikat kecakapan.





Pasal 47

Ayat (1)

Huruf c

Perseorangan pemegang sertifikat ahli perawatan pesawat udara yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat melakukan perawatan pesawat udara untuk perusahaan angkutan udara bukan niaga yang berkapasitas penumpang kurang dari 9 (sembilan) orang.





Pasal 52

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” adalah suatu keadaan yang memaksa sehingga harus dilakukan pendaratan di luar bandar udara yang telah ditetapkan, misalnya karena terjadi kerusakan mesin, kehabisan bahan bakar, cuaca buruk, ancaman bom, atau pembajakan, teroris yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan apabila penerbangan tetap dilanjutkan.



Pasal 53

Ayat (1)

Kegiatan yang membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut antara lain terbang di luar jalur yang ditentukan, terbang tidak membawa peralatan keselamatan, dan terbang di atas kawasan udara terlarang.



Pasal 55

Yang dimaksud dengan “selama terbang” adalah sejak saat semua pintu luar pesawat udara ditutup setelah naiknya penumpang (embarkasi) sampai saat pintu dibuka untuk penurunan penumpang (debarkasi) di bandar udara tujuan.



Kewenangan kapten penerbang dalam ketentuan ini juga pada saat pendaratan darurat sampai dengan kewenangan tersebut diambil alih pejabat yang berwenang atau pejabat yang ditunjuk dalam penanganan darurat.



Kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk memberikan landasan hukum bagi tindakan yang diambil oleh kapten penerbang dalam rangka keamanan dan keselamatan penerbangan.





Pasal 56

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “penumpang yang tidak mampu”, antara lain, orang cacat, orang buta huruf, dan anak-anak.



Pasal 58

Ayat (1)



Personel pesawat udara meliputi personel operasi pesawat udara, personel penunjang operasi pesawat udara, dan personel perawatan pesawat udara.



Personel operasi pesawat udara meliputi:

penerbang; dan
juru mesin pesawat udara.


Personel penunjang operasi pesawat udara meliputi:

personel penunjang operasi penerbangan; dan b. personel kabin.


Personel perawatan pesawat udara, yaitu personel yang telah memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara.



Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “sah” adalah dikeluarkan atau dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.

Yang dimaksud dengan “masih berlaku” adalah lisensi yang diberikan memiliki batas waktu berlakunya sesuai dengan bidang pekerjaannya.



Ayat (3)

Huruf b

Yang dimaksud dengan “sehat jasmani dan rohani” adalah keterangan hasil pemeriksaan kesehatan yang dilaksanakan oleh unit kesehatan yang mempunyai kualifikasi untuk melakukan pemeriksaan kesehatan personel penerbangan.



Huruf d

Yang dimaksud dengan “ujian” adalah suatu kegiatan untuk mengetahui kompetensi personel dalam rangka mendapatkan lisensi.



Pasal 59

Ayat (1)

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”mempertahankan kemampuan yang dimiliki” adalah kewajiban minimal personel dalam melakukan pekerjaan dan mengikuti pelatihan ulang.



Pasal 62

Ayat (1)

Huruf c

Yang dimaksud dengan “pihak kedua” adalah orang atau badan hukum yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum.



Huruf d

Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah orang atau badan hukum yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan pengoperasian pesawat udara dengan suatu ikatan hukum, tetapi mendapat akibat dari pengoperasian pesawat udara tersebut.



Pasal 63

Ayat (2)



Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah:

tidak tersedianya kapasitas pesawat udara di Indonesia;
tidak tersedianya jenis atau kemampuan pesawat udara Indonesia untuk melakukan kegiatan angkutan udara;
bencana alam; dan/atau d. bantuan kemanusiaan.


Yang dimaksud dengan “dalam waktu yang terbatas” adalah waktu pengoperasian pesawat udara asing dibatasi sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu oleh pesawat udara Indonesia.



Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “perjanjian antarnegara” adalah perjanjian pelimpahan kewenangan fungsi kelaikudaraan.



Ayat (4)

Yang dimaksud “persyaratan kelaikudaraan” adalah sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional.



Pasal 67

. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “tanda identitas” adalah tanda pendaftaran.



Pasal 68

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah apabila Pemerintah memerlukan transportasi untuk angkutan udara, sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara negara, Pemerintah dapat menggunakan pesawat udara negara menjadi pesawat udara sipil sesuai dengan persyaratan pesawat udara sipil.



Begitu juga sebaliknya apabila Pemerintah memerlukan pesawat udara untuk kegiatan negara, sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara sipil pesawat udara sipil dapat diubah menjadi pesawat udara negara sesuai dengan persyaratan pesawat udara negara.



Pasal 69

Yang dimaksud dengan izin Pemerintah adalah persetujuan terbang (flight approval).



Pasal 71



Yang dimaksud dengan “objek pesawat udara” adalah rangka pesawat udara, mesin pesawat udara, dan helikopter. Mesin pesawat udara yang dipasang pada rangka pesawat udara disebut pesawat terbang.



Yang dimaksud dengan “rangka pesawat udara” adalah rangka pesawat udara (selain rangka pesawat udara yang digunakan untuk dinas kemiliteran, beacukai, atau kepolisian) yang apabila dipasang mesin-mesin pesawat udara yang sesuai pada rangka pesawat udara itu, disertifikasi oleh lembaga penerbang yang berwenang untuk mengangkut:

paling sedikit 8 orang termasuk awak pesawat; atau b. barang-barang yang lebih dari 2.750 kg,
beserta seluruh perlengkapan, komponen, dan peralatan yang terpasang dimasukkan atau terkait (selain mesin pesawat udara) dan seluruh data buku petunjuk dan catatan yang berhubungan dengan itu.



Yang dimaksud dengan “mesin pesawat udara” adalah mesin pesawat udara (selain mesin pesawat udara yang digunakan untuk dinas kemiliteran, beacukai, atau kepolisian) yang digerakkan oleh tenaga propulsi jet atau turbin atau teknologi piston dan:



dalam hal mesin pesawat udara dengan propulsi jet, mempunyai paling sedikit gaya dorong sebesar 1.750 lbs atau yang setara; dan
dalam hal mesin-mesin pesawat udara yang diberi tenaga oleh turbin atau piston, mempunyai paling sedikit 550 tenaga kuda yang digunakan untuk lepas landas rata-rata atau yang setara,
beserta seluruh modul dan perlengkapan, komponen dan peralatan lain yang terpasang, dimasukan atau terkait, dan seluruh data, buku petunjuk dan catatan yang berhubungan dengan itu.



Yang dimaksud dengan “helikopter” adalah helikopter tertentu (yang tidak digunakan dalam dinas-dinas militer, beacukai, atau kepolisian) yang disertifikasi oleh lembaga penerbangan yang berwenang untuk mengangkut:

paling sedikit 5 orang termasuk awak, atau
barang yang lebih dari 450 kg, beserta   seluruh   perlengkapan,   komponen,   dan   peralatan   yang
terpasang, dimasukkan atau terkait (termasuk rotor-rotor) dan seluruh data, buku petunjuk, dan catatan yang berhubungan dengan itu.



Yang dimaksud dengan “kepentingan internasional” adalah suatu kepentingan yang diperoleh kreditur yang timbul akibat perjanjian pemberian hak jaminan kebendaan, perjanjian pengikatan hak bersyarat dan/atau perjanjian hak sewa guna usaha yang tunduk pada konvensi tentang kepentingan internasional dalam peralatan bergerak dan protokol mengenai masalah-masalah khusus pada peralatan udara (Protocol to the Convention on Interests in Mobile Equipment on Matters Specific to Aircraft Equipment).



Yang dimaksud dengan “pemberian hak jaminan kebendaan (security agreement)” adalah suatu perjanjian di mana pemberi hak jaminan kebendaan (chargor) memberikan atau menyetujui untuk memberikan kepada penerima hak jaminan kebendaan (chargee) suatu kepentingan (termasuk kepentingan kepemilikan) atas objek pesawat udara untuk menjamin pemenuhan kewajiban yang terjadi atau yang akan terjadi dari pemberi hak jaminan kebendaan atau pihak ketiga.



Yang dimaksud dengan “perjanjian pengikatan hak bersyarat (title reservation agreement)” adalah suatu perjanjian penjualan objek pesawat udara dengan ketentuan bahwa kepemilikan tidak akan beralih sampai terpenuhinya persyaratan yang tercantum dalam perjanjian.



Yang dimaksud dengan “perjanjian sewa guna usaha (leasing agreement)” adalah suatu perjanjian di mana seseorang (pemberi sewa guna usaha/lessor) memberikan hak kepada orang lain (penerima sewa guna usaha/lessee) untuk menguasai suatu objek pesawat udara (dengan atau tanpa opsi untuk membeli) dengan kompensasi berupa uang sewa atau pembayaran lainnya.



Pasal 72

Yang dimaksud dengan “berdasarkan hukum yang dipilih” adalah para pihak dapat memilih hukum yang akan mengatur hak dan kewajiban   kontraktual   mereka   berdasarkan   perjanjian   tersebut dengan atau tanpa adanya titik taut antara hukum yang dipilih dengan   salah   satu   pihak   pada   perjanjian   atau   pelaksanaan kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian tersebut. Para pihak dalam perjanjian tersebut juga diberikan kebebasan untuk memilih yurisdiksi pada pengadilan dari Negara peserta konvensi dan protokol tersebut dengan atau tanpa adanya titik taut antara pengadilan yang dipilih dengan para pihak atau dengan transaksi yang timbul dari perjanjian tersebut.



Pasal 74

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “kuasa memohon deregistrasi” adalah kuasa untuk memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor yang tidak dapat ditarik kembali (irrevocable de-registration and export request authorization) sebagaimana dimaksud dalam konvensi dan protokol tersebut.



Pasal 76

Yang dimaksud dengan ”instansi pemerintah lainnya”, antara lain, instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang bea cukai, perpajakan, luar negeri, dan pertahanan sesuai dengan kewenangan masing-masing.



Pasal 78

Yang dimaksud dengan “kantor pendaftaran internasional” adalah fasilitas pendaftaran internasional yang dibentuk untuk keperluan konvensi dan protokol tersebut dan akan menjadi satu-satunya kantor pendaftaran bagi kepentingan internasional dalam objek pesawat udara.



Pasal 79

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan ”pengadilan negeri” adalah pengadilan negeri yang dipilih oleh para pihak atau pengadilan negeri Indonesia yang memiliki kompetensi relatif dalam hal tidak adanya pilihan pengadilan dalam perjanjian.



Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “jangka waktu” adalah:

paling lama 10 (sepuluh) hari kalender sejak permohonan diterima untuk memberikan perlindungan terhadap objek pesawat udara dan nilainya, penguasaan, pengendalian atau pengawasan, dan/atau larangan memindahkan objek pesawat udara; dan


Pasal 80

paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak permohonan diterima untuk memberikan sewa guna usaha atau pengelolaan objek pesawat udara dan pendapatan yang diterima dari hal tersebut, serta penjualan dan penggunaan hasil penjualan dari objek pesawat udara.


Yang dimaksud dengan “jangka waktu yang ditetapkan oleh Pemerintah” adalah jangka waktu yang dinyatakan dalam deklarasi pemerintah sehubungan dengan konvensi dan protokol tersebut.



Pasal 81

Yang dimaksud dengan “tagihan-tagihan tertentu” adalah tagihan- tagihan yang dinyatakan dalam deklarasi pemerintah sehubungan dengan konvensi dan protokol tersebut, yaitu:

hak karyawan perusahaan angkutan udara atas gaji yang belum dibayar yang timbul sejak dinyatakan cedera janji menurut perjanjian pembiayaan atau sewa guna usaha atas objek pesawat udara;
hak dari otoritas di Indonesia terkait dengan pajak atau tagihan
lainnya yang belum dibayar yang timbul dari atau terkait dengan penggunaan objek pesawat udara, dan timbul sejak dinyatakan cedera janji menurut perjanjian pembiayaan atau sewa guna usaha atas objek pesawat udara tersebut; dan

hak lainnya dari pihak yang memperbaiki objek pesawat udara yang berada dalam penguasaannya sepanjang perbaikan tersebut mempunyai nilai tambah bagi objek pesawat udara tersebut.


Pasal 82

Yang dimaksud dengan “ketentuan hukum khusus” adalah dalam hal terjadi pertentangan atau perbedaan pengaturan antara ketentuan dalam konvensi, protokol atau deklarasi dengan peraturan perundang-undangan Indonesia, ketentuan-ketentuan dari konvensi, protokol, dan deklarasi tersebut yang berlaku.



Pasal 83

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kegiatan angkutan udara niaga berjadwal” adalah pelayanan angkutan udara niaga dalam rute penerbangan yang dilakukan secara tetap dan teratur.

Yang dimaksud dengan “kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal” adalah pelayanan angkutan udara niaga yang tidak terikat pada rute dan jadwal penerbangan yang tetap dan teratur.



Pasal 85

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah adanya kebutuhan kapasitas angkutan udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi   oleh kapasitas angkutan udara niaga berjadwal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan angkutan udara niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (meeting, insentive travel, convention, and exhibition), angkutan udara haji, bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan yang bersifat nasional dan internasional.



Yang dimaksud dengan “bersifat sementara” adalah persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama

6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali pada rute yang sama.



Pasal 86

Ayat (1)



Yang dimaksud dengan “perjanjian bilateral” adalah perjanjian angkutan udara yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan 1 (satu) negara asing yang menjadi mitra perikatan (contracting party).



Yang dimaksud dengan “perjanjian multilateral” adalah perjanjian angkutan udara yang bersifat khusus atau umum yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan beberapa negara asing yang menjadi mitra perikatan dan anggota dalam perjanjian ini bersifat tetap.



Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kepentingan nasional”, antara lain, kepentingan kedaulatan negara, keutuhan wilayah nasional, kepentingan ekonomi nasional, dan kelangsungan usaha badan usaha angkutan udara nasional.



Pasal 87

Ayat (1)



Yang dimaksud dengan “perjanjian plurilateral” adalah perjanjian yang dilakukan antara satu negara dan organisasi komunitas negara atau antarorganisasi komunitas negara, yang keanggotaannya bersifat terbuka.



Pasal 90

Ayat (1)



Yang dimaksud dengan “tanpa batasan hak angkut udara” adalah pelaksanaan hak angkut udara tidak membatasi, antara lain, tempat tujuan, frekuensi penerbangan, kapasitas angkut, penerapan tarif, dan kebebasan di udara (freedom of the air).



Yang dimaksud dengan “pembukaan pasar angkutan udara” adalah memberikan peluang/kesempatan kepada perusahaan angkutan udara asing untuk melayani penerbangan dari dan ke wilayah Republik Indonesia dengan pembatasan hak angkut udara.



Yang dimaksud dengan “secara bertahap” adalah dilakukan, antara lain, sesuai dengan kesiapan daya saing perusahaan angkutan udara nasional.



Pasal 91

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa angkutan udara oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pada rute tertentu.









Pasal 92

Huruf b

Yang dimaksud dengan “kelompok penumpang yang melakukan paket perjalanan”, antara lain, untuk keperluan haji, umroh, paket wisata, dan MICE.



Huruf e

Yang dimaksud dengan “bentuk kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal lainnya”, antara lain, dalam satu pesawat terdiri dari berbagai kelompok dan dengan tujuan yang berbeda-beda (split charter), untuk orang sakit, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan terjun payung.



Pasal 93

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “menteri terkait” adalah menteri yang membidangi urusan luar negeri berupa diplomatic clearance dan menteri yang membidangi urusan pertahanan berupa security clearance.



Pasal 97

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pelayanan standar maksimum”, antara lain, pemberian makan dan minum, makanan ringan, dan fasilitas ruang tunggu eksekutif (lounge) untuk kelas bisnis (business class) dan kelas utama (first class).

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pelayanan standar menengah”, antara lain, pemberian makanan ringan, dan fasilitas lain ruang tunggu eksekutif untuk penumpang kelas ekonomi tertentu.

Huruf c

Yang   dimaksud   dengan   “pelayanan   standar   minimum”, antara lain, hanya ada 1 (satu) kelas pelayanan, tanpa pemberian makan dan minum, makanan ringan, fasilitas ruang tunggu eksekutif, dan dikenakan biaya untuk bagasi tercatat.



Pasal 101

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “lembaga tertentu”, antara lain, adalah lembaga keagamaan, lembaga sosial, dan perkumpulan olah raga.



Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “kegiatan keudaraan” misalnya kegiatan penyemprotan pertanian, pemadaman kebakaran, hujan buatan, pemotretan udara, survei dan pemetaan, pencarian dan pertolongan, kalibrasi, serta patroli.



Pasal 102

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “daerah tertentu” adalah daerah atau wilayah yang tidak dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga.



Yang dimaksud dengan “persyaratan tertentu”, antara lain, asuransi, menerbitkan tiket, melaporkan atau menyerahkan manifes kepada penyelenggara bandar udara.



Yang dimaksud dengan “bersifat sementara” adalah persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama 6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali pada rute yang sama.





Pasal 104

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah kesepakatan antara Pemerintah dan badan usaha angkutan udara niaga nasional setelah dilakukannya proses pelelangan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.



Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “kompensasi lainnya”, antara lain, memberikan subsidi tambahan.



Pasal 105

Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah tidak tersedianya badan usaha angkutan udara niaga untuk melayani kegiatan angkutan udara perintis pada suatu lokasi.



Pasal 112

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “evaluasi” adalah evaluasi terhadap kinerja badan usaha angkutan udara niaga.



Pasal 113

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “dipindahtangankan” adalah perubahan kepemilikan sebagian atau seluruh saham badan usaha angkutan udara niaga berupa penggabungan (merger) atau pengambilalihan (akuisisi).



Pasal 116

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “evaluasi” adalah evaluasi kinerja pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga.



Pasal 118

Ayat (1) Huruf a

Yang   dimaksud   dengan   “melakukan   kegiatan angkutan udara secara nyata” adalah pengoperasian pesawat udara, sedangkan kegiatan pendirian kantor perusahaan dan perwakilan, penyiapan sumber daya manusia, dan penyiapan administrasi lainnya yang dilakukan oleh badan usaha angkutan udara niaga belum dikategorikan melakukan kegiatan angkutan udara.



Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “memiliki” adalah pesawat udara yang diperoleh dari pembelian yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan (bill of sale).



Pasal 122

Ayat (1)



Menteri dalam menetapkan jaringan dan rute penerbangan bertujuan untuk menjamin tersedianya jasa angkutan udara ke seluruh pelosok wilayah Republik Indonesia, dengan mempertimbangkan keterpaduan antarmoda angkutan dan kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga.



Pasal 126

Ayat (2)

Dalam penetapan golongan tarif angkutan udara niaga berjadwal domestik, Menteri memperhatikan kepentingan keselamatan dan keamanan penerbangan, kepentingan masyarakat dan kepentingan penyelenggara angkutan udara niaga.



Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “tarif jarak” adalah besaran tarif per rute penerbangan per satu kali penerbangan, untuk setiap penumpang yang merupakan hasil perkalian antara tarif dasar dengan jarak serta dengan memperhatikan kemampuan daya beli. Tarif jarak terdiri dari biaya pokok rata-rata ditambah dengan keuntungan wajar.



Huruf b

Yang dimaksud dengan “pajak” adalah pajak pertambahan nilai (PPn) yang dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



Huruf c

Yang dimaksud dengan “iuran wajib asuransi” adalah asuransi pertanggungan kecelakaan penumpang yang dikenakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang.











Huruf d

Yang dimaksud dengan “biaya tuslah/tambahan (surcharge)” adalah biaya yang dikenakan karena terdapat biaya-biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan angkutan udara di luar perhitungan penetapan tarif jarak antara lain biaya fluktuasi harga bahan bakar (fuel surcharge) dan biaya yang ditanggung oleh perusahaan angkutan udara karena pada saat berangkat atau pulang penerbangan tanpa penumpang, misalnya pada saat hari raya.



Pasal 127

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tarif penumpang pelayanan kelas ekonomi” adalah harga jasa maksimum pada suatu rute tertentu di dalam negeri atas pelayanan angkutan penumpang kelas ekonomi yang ditetapkan setelah berkoordinasi dengan asosiasi penerbangan nasional dengan mempertimbangkan masukan dari asosiasi pengguna jasa penerbangan.



Yang dimaksud dengan “pelayanan kelas ekonomi” adalah jasa angkutan udara yang disediakan oleh badan usaha angkutan udara niaga dengan pelayanan minimal yang memenuhi aspek keselamatan dan keamanan penerbangan.



Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “perlindungan konsumen” adalah melindungi konsumen dari pemberlakuan tarif tinggi oleh badan usaha angkutan udara niaga dan melindungi konsumen dari informasi/iklan tarif penerbangan yang berpotensi merugikan/menyesatkan sehingga ditetapkan tarif batas atas.



Yang dimaksud dengan “perlindungan dari persaingan tidak sehat” adalah melindungi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dari penetapan tarif rendah oleh badan usaha angkutan udara niaga berjadwal lainnya yang bertujuan untuk mengeluarkan badan usaha angkutan udara niaga berjadwal pesaing dari rute yang dilayani.



Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “dipublikasikan” adalah dilakukan penyebarluasan tarif batas atas yang telah ditetapkan oleh Menteri, baik yang dilakukan Menteri maupun oleh badan usaha angkutan udara niaga, antara lain, melalui media cetak dan elektronika dan/atau dipasang pada setiap tempat penjualan tiket pesawat udara.





Pasal 131

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “kegiatan usaha penunjang angkutan udara” adalah kegiatan yang secara langsung berhubungan dengan kegiatan angkutan udara niaga antara lain sistem reservasi melalui komputer (computerized reservation system), pemasaran dan penjualan tiket pesawat atau agen penjualan umum (ticket marketing and selling), pelayanan di darat untuk penumpang dan kargo (ground handling), dan penyewaan pesawat udara (aircraft leasing).





Pasal 134

Ayat (1)

Pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus bagi penumpang yang menyandang cacat atau orang sakit dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati pelayanan angkutan dengan layak.



Yang dimaksud dengan “fasilitas khusus” dapat berupa penyediaan jalan khusus di bandar udara dan sarana khusus untuk naik ke atau turun dari pesawat udara, atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.



Yang dimaksud dengan “penyandang cacat”, antara lain, penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat kaki, dan tuna netra.



Tidak termasuk dalam pengertian “orang sakit” dalam ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



Ayat (3)

Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dapat menetapkan biaya tambahan dalam hal orang sakit membutuhkan tempat duduk tambahan selama penerbangan.



Pasal 136

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “barang khusus”, antara lain, berupa hewan, ikan, tanaman, buah-buahan, sayur-mayur, daging, peralatan olahraga, dan alat musik.



Pasal 140

Ayat (1)



Ketentuan ini dimaksudkan agar badan usaha angkutan udara niaga tidak membedakan perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan perjanjian pengangkutan yang disepakati.



Pasal 141

Ayat (1)

Yang   dimaksud   dengan   “kejadian   angkutan   udara”   adalah kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara.



Yang dimaksud dengan “cacat tetap” adalah kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata, termasuk dalam pengertian cacat tetap adalah cacat mental sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian.



Pasal 144

Yang dimaksud dengan “dalam pengawasan pengangkut” adalah sejak barang diterima oleh pengangkut pada saat pelaporan (check in) sampai dengan barang tersebut diambil oleh penumpang di bandar udara tujuan.







Pasal 146



Yang dimaksud dengan “faktor cuaca” adalah hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan.



Yang dimaksud dengan “teknis operasional” antara lain:

bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara;
lingkungan   menuju   bandar   udara   atau   landasan   terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, atau kebakaran;
terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi waktu keberangkatan (departure slot time) di bandar udara; atau
keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).


Sedangkan yang tidak termasuk dengan “teknis operasional” antara lain:

keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin;
keterlambatan jasa boga (catering);
keterlambatan penanganan di darat;
menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight); dan
ketidaksiapan pesawat udara.


Pasal 147

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penerbangan lain” adalah penerbangan dengan pesawat udara lain milik pengangkut atau pengangkut lainnya.





Pasal 150

Huruf b

Yang dimaksud dengan “pas masuk pesawat udara” adalah tanda bukti calon penumpang telah melapor untuk berangkat dan dipergunakan sebagai tanda masuk ke pesawat udara.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “tanda pengenal bagasi” adalah tanda bukti pengambilan bagasi tercatat milik penumpang.



Pasal 156

Ayat (1)

Lembar pertama untuk pengangkut kargo, ditandatangani oleh pengirim kargo, lembar kedua untuk penerima kargo yang ditandatangani oleh pengangkut kargo dan pengirim kargo yang dikirim bersama-sama dengan barang, sedangkan lembar ketiga untuk pengirim kargo yang ditandatangani oleh pengirim kargo dan pengangkut kargo sebagai bukti penerima barang oleh pengangkut kargo.



Pasal 159

Yang dimaksud dengan “harga kargo sebenarnya” adalah harga yang dinyatakan oleh pengirim kargo berdasarkan harga pasar atau harga yang ditetapkan sendiri.

Pasal 161

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “instansi terkait”, antara lain, instansi yang bertanggung jawab di bidang kehutanan, karantina hewan, dan tanaman.



Pasal 167

Yang dimaksud dengan “kerugian nyata” adalah kerugian yang didasarkan pada nilai barang yang hilang atau rusak pada saat kejadian.



Pasal 171

Yang dimaksud dengan “mitra usaha” adalah pihak yang mempunyai ikatan kerja dengan perusahaan pengangkut, misalnya yang menangani pelayanan di darat untuk penumpang dan kargo.



Pasal 172



Ayat (1)



Penetapan batas ganti kerugian harus disesuaikan dengan perkembangan nilai mata uang.



Dengan pertimbangan bahwa tingkat hidup, kelangsungan hidup perusahaan, inflasi dan pendapatan per kapita serta umur rata- rata manusia, selalu mengalami perubahan, maka terhadap besaran   nilai ganti kerugian   hendaknya selalu di evaluasi sehingga dapat memenuhi keinginan, baik dari pengguna jasa maupun pemberi jasa.



Ayat (2)



Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.



Pasal 174

Ayat (1)

Penerimaan bagasi tercatat tanpa klaim oleh penumpang merupakan bukti bahwa bagasi tercatat tersebut telah diambil dalam keadaan baik.



Pasal 175

Ayat (1)

Penerimaan kargo tanpa klaim oleh penerima kargo merupakan bukti bahwa kargo tersebut telah diambil dalam keadaan baik.



Pasal 176

Gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat pembelian tiket, pengiriman barang, domisili kantor pengangkut, kantor cabang dan domisili tergugat atau penggugat di seluruh wilayah Republik Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberi kemudahan kepada korban.



Pasal 177



Yang dimaksud dengan “kerugian yang diderita penumpang atau pengirim” meliputi:

untuk penumpang adalah meninggal dunia, luka-luka tubuh, keterlambatan, dan tidak terangkut; serta
untuk bagasi tercatat dan kargo, adalah hilang, musnah, rusak, terlambat, dan tidak terangkut sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.


Pasal 178



Cukup jelas. Pasal 179

Cukup jelas. Pasal 180

Yang dimaksud sekurang-kurangnya dalam ketentuan ini adalah

tanggung jawab ganti kerugian yang harus diberikan oleh pengangkut tidak boleh kurang dari yang ditetapkan oleh Menteri, tetapi penumpang dapat menuntut ganti kerugian lebih tinggi apabila dapat membuktikan kecelakaan yang terjadi yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pengangkut.



Pasal 182

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “angkutan intermoda” adalah 1 (satu) rangkaian angkutan orang dan/atau kargo yang dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) moda angkutan.



Pasal 183

Yang dimaksud ”pihak pengangkut lain” adalah biro/agen perjalanan atau perusahaan ekspedisi muatan pesawat udara yang bertindak sebagai pembuat kontrak pengangkutan (contracting carrier) dengan penumpang atau pengirim barang atau dengan seseorang yang bertindak atas nama penumpang atau pengirim barang untuk diangkut oleh perusahaan angkutan udara (actual carrier).



Pasal 187

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “usaha angkutan multimoda” adalah usaha angkutan dengan menggunakan paling sedikit dua moda angkutan yang berbeda atas dasar suatu kontrak angkutan multimoda dengan menggunakan satu dokumen angkutan multimoda (DAM) dari suatu tempat barang diterima oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penerimaan barang tersebut.



Pasal 189

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “tanggung jawab badan usaha angkutan multimoda bersifat terbatas” adalah tanggung jawab badan usaha angkutan multimoda terhadap kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan adalah terbatas pada suatu jumlah yang sebanding dengan 2 (dua) setengah kali biaya angkut yang harus dibayar atas barang yang terlambat, tetapi tidak melebihi jumlah biaya angkut yang harus dibayar berdasarkan kontrak transportasi multimoda.



Keseluruhan jumlah tanggung jawab yang menjadi beban badan usaha angkutan multimoda tidak boleh melebihi batas tanggung jawab yang diakibatkan oleh kerugian total terhadap barang.



Pasal 197

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan skala pelayanan primer adalah bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang dengan jumlah lebih besar atau sama dengan 5.000.000 (lima juta) orang per tahun.



Yang dimaksud dengan skala pelayanan sekunder adalah bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang melayani penumpang dengan jumlah lebih besar dari atau sama dengan 1.000.000 (satu juta) dan lebih kecil dari 5.000.000 (lima juta) orang per tahun.



Yang dimaksud dengan skala pelayanan tersier adalah bandar udara sebagai salah satu prasarana penunjang pelayanan Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dan Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) terdekat yang melayani penumpang dengan jumlah lebih besar dari atau sama dengan 500.000 (lima ratus ribu) dan lebih kecil dari 1.000.000 (satu juta) orang per tahun.



Pasal 198

Yang dimaksud dengan “kapasitas pelayanan” adalah kemampuan bandar udara untuk melayani jenis pesawat udara terbesar dan jumlah penumpang/barang.



Pasal 199

Ayat (2)

Huruf b

Potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah diketahui atau diukur antara lain dengan survei asal dan tujuan penumpang (origin and destination survey).



Pasal 200

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “perubahan kondisi lingkungan strategis”, antara lain, bencana yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan nasional yang mengakibatkan perubahan batas wilayah provinsi.







Pasal 201

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “titik koordinat bandar udara” adalah titik yang dinyatakan dengan koordinat geografis.



Ayat (3)

Huruf d

Yang dimaksud dengan “kelayakan ekonomis” adalah kelayakan yang dinilai akan memberikan keuntungan secara ekonomis bagi pengembangan wilayah, baik secara langsung maupun tidak langsung.



Yang dimaksud dengan “kelayakan finansial” adalah kelayakan yang dinilai akan memberikan keuntungan bagi badan usaha bandar udara atau unit penyelenggara bandar udara.



Yang dimaksud dengan “kelayakan sosial” adalah kelayakan yang dinilai berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh adanya bandar udara tidak akan meresahkan masyarakat sekitar serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar.



Yang dimaksud dengan “kelayakan pengembangan wilayah” adalah   kelayakan   yang   dinilai   berdasarkan   kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.



Yang dimaksud dengan “kelayakan teknis pembangunan” adalah kelayakan yang dinilai berdasarkan faktor kesesuaian fisik dasar antara lain topografi, kondisi meteorologi dan geofisika, serta daya dukung tanah.



Yang dimaksud dengan “kelayakan pengoperasian” adalah kelayakan yang dinilai berdasarkan jenis pesawat, pengaruh cuaca, penghalang, penggunaan ruang udara, dukungan navigasi penerbangan, serta prosedur pendaratan dan lepas landas.





Huruf e



Yang dimaksud dengan “kelayakan lingkungan” yaitu suatu kelayakan yang dinilai dari besarnya dampak yang akan ditimbulkan serta kemampuan mengurangi dampak (mitigasi), pada masa konstruksi, pengoperasian, dan/atau pada tahap pengembangan selanjutnya.



Pasal 202



Huruf a



Cukup jelas. Huruf b

Yang dimaksud dengan “fasilitas” adalah:



fasilitas pokok meliputi:


1) fasilitas keselamatan dan keamanan, antara lain Pertolongan Kecelakaan Penerbangan – Pemadam Kebakaran (PKP-PK), salvage, alat bantu pendaratan visual (Airfield Lighting System), sistem catu daya kelistrikan, dan pagar.



2) fasilitas sisi udara (airside facility), antara lain:

a) landas pacu (runway);
b) runway strip, Runway End Safety Area (RESA),
stopway, clearway;

c) landas hubung (taxiway);
d) landas parkir (apron);
e) marka dan rambu; dan
f) taman meteo (fasilitas dan eralatan pengamatan cuaca).


3) fasilitas sisi darat (landside facility) antara lain:

a) bangunan terminal penumpang;
b) bangunan terminal kargo;
c) menara pengatur lalu lintas penerbangan (control tower);
d) bangunan operasional penerbangan;
e) jalan masuk (access road);
f) parkir kendaraan bermotor;
g) depo pengisian bahan bakar pesawat udara;
h) bangunan hanggar;
i) bangunan administrasi/perkantoran;
j) marka dan rambu; serta
k) fasilitas pengolahan limbah.


fasilitas penunjang merupakan fasilitas yang secara langsung dan tidak langsung menunjang kegiatan bandar udara dan memberikan nilai tambah secara ekonomis pada penyelenggaraan bandar udara, antara lain fasilitas perbengkelan pesawat udara, fasilitas pergudangan, penginapan/hotel, toko, restoran, dan lapangan golf.


Pasal 204

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “tempat pelaporan keberangkatan (city check in counter)” adalah suatu fasilitas/tempat di luar daerah lingkungan kerja bandar udara yang berfungsi untuk menyelesaikan berbagai prosedur dan persyaratan keamanan dan pelayanan sebagaimana halnya di bandar udara.



Pasal 206



Huruf a

Yang dimaksud dengan “kawasan ancangan pendaratan dan lepas landas (approach and take-off area)” adalah suatu kawasan perpanjangan kedua ujung landas pacu, di bawah lintasan pesawat udara setelah lepas landas atau akan mendarat, yang dibatasi oleh ukuran panjang dan lebar tertentu.



Huruf b

Yang dimaksud dengan “kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan” adalah sebagian dari kawasan pendekatan yang berbatasan langsung dengan ujung-ujung landas pacu dan mempunyai ukuran tertentu, yang dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.



Huruf c

Yang dimaksud dengan “kawasan di bawah permukaan transisi” adalah bidang dengan kemiringan tertentu sejajar dan berjarak tertentu dari sumbu landas pacu, pada bagian bawah dibatasi oleh titik perpotongan dengan garis-garis datar yang ditarik tegak lurus pada sumbu landas pacu, dan pada bagian atas dibatasi oleh garis perpotongan dengan permukaan horizontal dalam.



Huruf d

Yang dimaksud dengan “kawasan di bawah permukaan horizontal dalam” adalah bidang datar di atas dan di sekitar bandar udara yang dibatasi oleh radius dan ketinggian dengan ukuran tertentu untuk kepentingan pesawat udara melakukan terbang rendah pada waktu akan mendarat atau setelah lepas landas.



Huruf e

Yang dimaksud dengan “kawasan di bawah permukaan kerucut” adalah bidang dari suatu kerucut yang bagian bawahnya dibatasi oleh garis perpotongan dengan horizontal dalam dan bagian atasnya dibatasi oleh garis perpotongan dengan permukaan horizontal luar, masing-masing dengan radius dan ketinggian tertentu dihitung dari titik referensi yang ditentukan.



Huruf f

Yang dimaksud dengan “kawasan di bawah permukaan horizontal luar” adalah bidang datar di sekitar bandar udara yang dibatasi oleh radius dan ketinggian dengan ukuran tertentu untuk kepentingan keselamatan dan efisiensi operasi penerbangan, antara lain, pada waktu pesawat udara melakukan pendekatan untuk mendarat dan gerakan setelah tinggal landas atau gerakan dalam hal mengalami kegagalan dalam pendaratan.



Pasal 207

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kebisingan tingkat I” adalah tingkat kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara (Weighted Equivalent Continous Perceived Noise Level/WECPNL) lebih besar atau sama dengan 70 (tujuh puluh) dan lebih kecil dari 75 (tujuh puluh lima).



Huruf b

Yang dimaksud dengan “kebisingan tingkat II” adalah tingkat kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara lebih besar atau sama dengan 75 (tujuh puluh lima) dan lebih kecil dari 80 (delapan puluh).



















Huruf c

Yang dimaksud dengan “kebisingan tingkat III” adalah tingkat kebisingan yang berada dalam Indeks Kebisingan Pesawat Udara lebih besar atau sama dengan 80 (delapan puluh).



Pasal 210

Yang dimaksud dengan “halangan”, antara lain, bangunan gedung, tumpukan tanah, tumpukan bahan bangunan, atau benda-benda galian, baik yang bersifat sementara maupun bersifat tetap, termasuk pepohonan dan bangunan yang sebelumnya telah didirikan.



Yang dimaksud dengan “kegiatan lain”, antara lain, kegiatan bermain layang-layang, menggembala ternak, menggunakan frekuensi radio, melintasi landasan, dan kegiatan yang menimbulkan asap.





Pasal 211

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “rencana rinci tata ruang kawasan di sekitar bandar udara” adalah pengaturan tata guna lahan di sekitar bandar udara.



Rencana induk nasional bandar udara dipergunakan sebagai pedoman apabila belum ada rencana induk bandar udara.



Pasal 212



Yang dimaksud dengan “aksesibilitas” adalah prasarana yang digunakan oleh pengguna jasa bandar udara dari dan ke bandar udara.



Yang dimaksud dengan “utilitas” adalah prasarana yang digunakan untuk menunjang operasi bandar udara, antara lain, listrik, air bersih, drainase, dan telekomunikasi.



Pasal 214

Yang dimaksud dengan “fungsi khusus” adalah fungsi bangunan yang dalam pembangunan dan penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat sekitarnya dan mempunyai risiko bahaya tinggi.





Pasal 215

Ayat (1)

Yang   dimaksud   dengan   “berkoordinasi   dengan   pemerintah daerah” adalah untuk mendapatkan rekomendasi dari gubernur atau bupati/walikota.



Ayat (2)

Huruf d

Rancangan teknik terinci bandar udara disesuaikan dengan rencana   peruntukan   bandar   udara   yang   bersangkutan, dalam kaitan dengan kemampuannya menampung pesawat udara yang akan mendarat dan lepas landas, serta penumpang dan barang dari bandar udara tersebut.



Rancangan teknik terinci sebagai dasar pelaksanaan kegiatan pembangunan bandar udara mencakup gambar dan spesifikasi teknis bangunan, fasilitas dan prasarana termasuk struktur bangunan dan bahan, serta fasilitas elektronika, listrik, dan mekanikal sebagai penunjang keselamatan penerbangan.



































Pasal 216

Persyaratan mengenai kelestarian lingkungan ditunjukkan dengan adanya studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Kerangka Acuan Andal (KA-ANDAL), Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), Upaya Pengelolaan Lingkungan atau Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), atau Dokumen Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (DPPL) yang merupakan dokumen untuk terpenuhinya persyaratan kelestarian lingkungan.



Pasal 222

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “personel bandar udara yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas bandar udara”, antara lain:

1)   personel fasilitas teknik bandar udara;

2)   personel fasilitas elektronika bandar udara;

3)   personel fasilitas listrik bandar udara;

4)   personel fasilitas mekanikal bandar udara;

5) personel pengatur pergerakan pesawat udara (apron movement control/AMC);

6) personel pengelola dan pemantau lingkungan;

7) personel pertolongan kecelakaan penerbangan-pemadam kebakaran (PKP-PK);

8)   personel keamanan;

9)   personel fasilitas keamanan penerbangan; dan

10) personel salvage.



Pasal 226

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan ”pembinaan kegiatan penerbangan” adalah termasuk pembinaan di bidang keselamatan, keamanan, dan kelancaran penerbangan serta pembinaan keamanan, ketertiban, dan kenyamanan di bandar udara.







Pasal 227

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat”, antara lain, dalam bentuk penyampaian laporan dan informasi mengenai perkembangan bandar udara kepada pemerintah daerah yang terkait dengan kepentingannya.





Pasal 233

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “persyaratan administratif”, antara lain, meliputi akte pendirian perusahaan, tanda jati diri pemilik, nomor pokok wajib pajak, dan domisili.



Yang dimaksud dengan “persyaratan keuangan” adalah kemampuan finansial perusahaan untuk pembangunan dan kelangsungan kegiatan pengoperasian bandar udara.



Yang dimaksud dengan “persyaratan manajemen” adalah kemampuan   personel   dan   organisasi   pengoperasian   bandar udara.





Pasal 235

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “bentuk lainnya” adalah kerja sama antara lain dalam bentuk build operate own, build operate transfer, dan contract management.



Pasal 239

Ayat (2)

Huruf b

Yang dimaksud dengan “fasilitas” adalah sarana yang memenuhi   persyaratan   standar   bagi   penyandang   cacat antara lain berupa lift, toilet khusus, dan ramp.





Pasal 240

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pengguna jasa bandar udara” adalah setiap orang yang menikmati pelayanan jasa bandar udara dan/atau mempunyai ikatan kerja dengan bandar udara.



Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” adalah masyarakat sekitar bandar udara.



Pasal 249

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”, antara lain, untuk tujuan

medical evacuation dan penanganan bencana. Pasal 250

Yang dimaksud “keadaan tertentu” dapat berupa:

terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya bandar udara umum; dan/atau
pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat bandar udara umum dan belum ada moda transportasi yang memadai.
Yang dimaksud “bersifat sementara” adalah jangka waktu terbatas sampai diatasinya kondisi keadaan tertentu.





Pasal 254

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan”, antara lain, memiliki buku pedoman pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport manual).



Pasal 256

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “beberapa” adalah bahwa penetapan bandar udara internasional dibatasi jumlahnya.





Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “menteri terkait” adalah menteri yang membidangi urusan keimigrasian, kepabeanan, dan kekarantinaan dalam rangka penempatan unit kerja dan personel.



Pasal 257

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” untuk bandar udara digunakan sebagai pangkalan udara adalah hanya untuk pertahanan negara yang ditetapkan oleh Presiden.



Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” untuk pangkalan udara dapat digunakan bersama sebagai bandar udara dapat berupa:

terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya bandar udara; atau
pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat bandar udara.


Pasal 262

Ayat (1) Huruf a

Pendelegasian pelayanan navigasi penerbangan pada wilayah udara semata-mata berdasarkan alasan teknis operasional dan tidak terkait dengan kedaulatan atas wilayah udara Indonesia serta bersifat sementara.



Huruf c

Ayat (2)

Pendelegasian ruang udara oleh organisasi penerbangan sipil internasional adalah di ruang udara di atas wilayah yang bukan merupakan teritorial suatu negara atau di atas laut bebas.

Pasal 264

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “bersifat tidak tetap” adalah pemberlakuan pembatasan dilaksanakan tidak terus-menerus.



Yang dimaksud dengan “tidak menyeluruh” adalah batas horizontal dan vertikal (ketinggian) dibatasi sehingga pesawat udara dapat melakukan penerbangan dengan tata cara bernavigasi yang ditetapkan pada kawasan udara tersebut.



Yang dimaksud dengan “kondisi alam”, antara lain, aktivitas gunung berapi, badai, turbulensi (turbulence), atau kebakaran hutan.



Pasal 265



Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “kaidah penerbangan” adalah jenis penerbangan yang didasarkan pada cara penerbangan, yaitu penerbangan instrumen atau kaidah penerbangan instrumen (instrument flight rules) dan penerbangan visual atau kaidah penerbangan visual (visual flight rules).



Huruf b

Yang dimaksud dengan “pemberian separasi” adalah pemberian jarak vertikal dan horizontal.



Ayat (2)



Yang dimaksud dengan “kelas A” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:

hanya digunakan untuk kaidah penerbangan instrumen;
diberikan separasi kepada semua pesawat udara;
diberikan pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan;
tidak ada pembatasan kecepatan;
memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot (Air Traffic Control Clearance).


Yang dimaksud dengan “kelas B” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:

digunakan untuk kaidah penerbangan instrumen dan visual;
diberikan separasi kepada semua pesawat udara;
diberikan pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan;
tidak ada pembatasan kecepatan;
memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


Yang dimaksud dengan “kelas C” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:

untuk kaidah penerbangan instrumen:
a) diberikan separasi kepada:
1) antarkaidah penerbangan instrumen; dan

2) antara kaidah penerbangan instrumen dengan kaidah penerbangan visual.

b) pelayanan yang diberikan berupa:
1) layanan pemanduan lalu lintas penerbangan untuk pemberian separasi dengan kaidah penerbangan instrumen; dan

2) layanan informasi lalu lintas penerbangan antar kaidah penerbangan visual.

c) tidak ada pembatasan kecepatan;
d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


untuk kaidah penerbangan visual:
a) diberikan separasi antara penerbangan visual dan penerbangan instrumen;
b) pelayanan pemanduan lalu lintas penerbangan;
c) kecepatan dibatasi 250 knot pada ketinggian dibawah
10.000 kaki di atas permukaan laut;

d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


Yang dimaksud dengan “kelas D” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:



untuk kaidah penerbangan instrumen:
a) separasi diberikan antarkaidah penerbangan instrumen;
b) diberikan layanan pemanduan lalu lintas penerbangan dan informasi tentang lalu lintas penerbangan visual;
c) kecepatan dibatasi 250 knot pada ketinggian di bawah
10.000 kaki di atas permukaan laut;

d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


untuk kaidah penerbangan visual:
a) tidak diberikan separasi;
b) diberikan informasi lalu lintas penerbangan instrumen kepada penerbangan visual dan antarpenerbangan visual;
c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot dibawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
d) memerlukan komunikasi radio dua arah;
e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


Yang dimaksud dengan “kelas E” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:



untuk kaidah penerbangan instrumen:
a) diberikan separasi antarkaidah penerbangan instrumen;
b) diberikan layanan pemanduan lalu lintas penerbangan sepanjang dapat dilaksanakan atau informasi lalu lintas penerbangan untuk penerbangan visual;






c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
e) persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


untuk kaidah penerbangan visual:
a) tidak diberikan separasi;
b) diberikan informasi lalu lintas penerbangan sepanjang dapat dilaksanakan;
c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
d) tidak diperlukan komunikasi radio;
e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


Yang dimaksud dengan “kelas F” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:



untuk kaidah penerbangan instrumen:
a) diberikan separasi antarkaidah penerbangan instrumen sepanjang dapat dilaksanakan;
b) diberikan bantuan layanan pemanduan lalu lintas penerbangan atau layanan informasi lalu lintas penerbangan;
c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


untuk kaidah penerbangan visual:
a) tidak diberikan separasi;
b) diberikan layanan informasi penerbangan;
c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
d) tidak diperlukan komunikasi radio; dan
e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


Yang dimaksud dengan “kelas G” adalah ruang udara yang memiliki kriteria sebagai berikut:



untuk kaidah penerbangan instrumen:
a) tidak diberikan separasi;
b) diberikan layanan informasi penerbangan;
c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
d) memerlukan komunikasi radio dua arah; dan
e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


untuk kaidah penerbangan visual:
a) tidak diberikan separasi;
b) diberikan layanan informasi penerbangan;
c) pembatasan kecepatan sebesar 250 knot di bawah 10.000 kaki di atas permukaan laut;
d) tidak diperlukan komunikasi radio; dan
e) tidak diperlukan persetujuan personel pemandu lalu lintas penerbangan kepada pilot.


Pasal 267

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “jalur udara (airway)” adalah suatu ruang udara yang terkontrol dalam bentuk koridor yang dilengkapi dengan peralatan radio navigasi.



Ayat (2)

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”titik acuan” adalah titik yang digunakan untuk menghubungkan segmen jalur penerbangan yang telah ditetapkan nama dan koordinatnya.



Titik acuan tersebut ditetapkan di atas fasilitas navigasi atau suatu titik maya yang ditetapkan posisinya.



Pasal 271

Ayat (3)

Huruf b

Yang dimaksud dengan ”tidak berorientasi kepada keuntungan” adalah lembaga penyelenggara dalam mengelola pendapatannya dimanfaatkan untuk biaya investasi, biaya operasional, dan peningkatan kualitas pelayanan.



Pasal 275

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara” terdiri atas pelayanan aerodrome oleh personel pemandu (aerodrome control), pelayanan komunikasi penerbangan (aeronautical flight information services), dan pelayanan aerodrome tanpa personel pemandu (un-attended).



Huruf b

Yang dimaksud dengan “unit pelayanan navigasi pendekatan” adalah unit pelayanan navigasi penerbangan pada kawasan pendekatan kedatangan (standard arrival route) dan keberangkatan (standard instrument departure).





Pasal 276

Yang dimaksud dengan “unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah” adalah unit pelayanan lalu lintas penerbangan terkendali yang diberikan kepada pesawat udara yang mendapatkan persetujuan dari personel pemandu lalu lintas penerbangan (air traffic control clearance), pelayanan informasi penerbangan (flight information service), dan pelayanan kesiagaan (alerting service).

Pasal 282

Huruf a

Yang dimaksud dengan “pelayanan aeronautika tetap” adalah pelayanan telekomunikasi penerbangan antarstasiun tetap (tidak bergerak).



Huruf b

Yang dimaksud dengan “pelayanan aeronautika bergerak” adalah telekomunikasi:

antara stasiun penerbangan di darat dengan stasiun penerbangan di pesawat udara;
antarstasiun pesawat udara;
radio beacon yang menunjukkan posisi darurat (emergency) dan marabahaya (distress); serta
penyiaran informasi penerbangan (aeronautical broadcasting service)


Huruf c

Yang dimaksud dengan “pelayanan radio navigasi aeronautika” adalah penyampaian informasi melalui perambatan gelombang radio untuk menentukan posisi, arah, kecepatan, dan karakteristik suatu benda untuk kepentingan navigasi.



Pasal 284

Yang dimaksud dengan “tepat waktu” adalah waktu penyampaian informasi tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.



Pasal 287

Yang dimaksud dengan “informasi cuaca”, antara lain, meliputi:

angin atas (upper winds) dan suhu udara atas (upper air temperature);
fenomena cuaca yang signifikan pada jalur jelajah (forecast of significant en-route weather phenomena);
laporan meteorologi bandar udara (aerodrome meteorological report);
prakiraan cuaca bandar udara (aerodrome forecast);
prakiraan cuaca untuk lepas landas (forecast for take-off);
prakiraan cuaca untuk pendaratan (landing forecast);
informasi cuaca yang signifikan (significant information meteorology);
informasi cuaca pada lapisan rendah (airmet); dan
ringkasan iklim bandar udara (aerodrome climatological summary).


Pasal 288

Yang dimaksud dengan “unit pelayanan informasi meteorologi” adalah badan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.



Pasal 290

Dalam penetapan tata cara dan prosedur pelayanan informasi meteorologi penerbangan diatur oleh Menteri berkoordinasi dengan institusi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika.



Pasal 291

Ayat (1) & (2) Cukup jelas.

Ayat (3)

Dalam penetapan tata cara dan prosedur pelayanan informasi pencarian dan pertolongan diatur oleh Menteri berkoordinasi dengan badan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan.



Pasal 292

Ayat (1) Cukup jelas.



Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “personel navigasi penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan” meliputi:

personel pelayanan lalu lintas penerbangan, yang terdiri atas:
1) pemandu lalu lintas penerbangan; dan

2) pemandu komunikasi penerbangan.



personel teknik telekomunikasi penerbangan, yang terdiri atas:
1) teknisi komunikasi penerbangan;

2) teknisi radio navigasi penerbangan;

3) teknisi pengamatan penerbangan; dan

4) teknisi kalibrasi penerbangan.



personel pelayanan informasi aeronautika; dan


personel perancang prosedur penerbangan adalah personel yang bertugas antara lain:


1) merancang suatu prosedur pergerakan pesawat udara untuk:

a) keberangkatan (standard instrument departure).
Prosedur pergerakan pesawat udara keberangkatan adalah jalur penerbangan tertentu dari suatu bandara, ditandai oleh fasilitas navigasi, yang merupakan panduan bagi penerbang.

b) kedatangan (standard instrument arrival route).
Prosedur pergerakan pesawat udara kedatangan adalah jalur penerbangan tertentu menuju suatu bandara, ditandai oleh fasilitas-fasilitas navigasi, yang merupakan panduan bagi penerbang.

c) ancangan pendaratan (instrument approach procedure).
Prosedur pergerakan pesawat udara ancangan pendaratan adalah rangkaian manuver yang ditetapkan bagi penerbang dalam melaksanakan prosedur ancangan pendaratan dengan hanya berpedoman pada instrumen-instrumen   yang   terdapat   dalam   cockpit serta fasilitas komunikasi dan navigasi.

d) terbang jelajah (en-route).
Prosedur pergerakan pesawat udara terbang jelajah adalah prosedur pergerakan pesawat udara yang dimulai dari fase keberangkatan sampai dengan awal fase kedatangan melalui suatu jalur penerbangan dengan batas ketinggian minimum yang ditentukan (minimum en-route altitude).

2) melakukan kajian aeronautika terhadap objek halangan yang berada dalam area operasi penerbangan.



Ayat (3) & (4) Cukup jelas.

Pasal 293 sd Pasal 302 Cukup jelas.



Pasal 303

Ayat (1)



Yang dimaksud dengan “penggunaan frekuensi radio di luar alokasi frekuensi radio penerbangan”, antara lain, untuk kepentingan   pengamanan penerbangan, pertolongan kecelakaan penerbangan dan pemadam kebakaran (rescue and fire fighting), penanganan darat pesawat udara (ground handling) dan radio link penunjang pelayanan navigasi penerbangan.



Ayat (2) & Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 304 Cukup jelas.



Pasal 305

Ayat (1)Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “yang tidak digunakan untuk keselamatan penerbangan”, antara lain, digunakan untuk kepentingan operasional perusahaan angkutan udara.



Pasal 306 & 307 Cukup jelas.



Pasal 308

Ayat (2)



Yang dimaksud dengan “program keselamatan penerbangan nasional” adalah seperangkat peraturan keselamatan penerbangan dan kegiatan yang terintegrasi untuk mencapai tingkat keselamatan yang diinginkan.



Pasal 309

Huruf c

Yang dimaksud dengan “sistem pelaporan keselamatan penerbangan” adalah tata cara dan prosedur pengumpulan data dan laporan yang bersifat laporan wajib, sukarela, dan/atau bersifat terbatas (confidential mandatory/voluntary reporting systems).



Huruf f

Yang dimaksud dengan “promosi keselamatan penerbangan (safety promotion)” adalah upaya memasyarakatkan keselamatan penerbangan secara berkelanjutan melalui pendidikan dan pelatihan serta sosialisasi keselamatan.



Pasal 310

Ayat (1) Huruf a

Yang dimaksud dengan “target kinerja keselamatan penerbangan” adalah kinerja keselamatan penerbangan yang ingin dicapai pada periode tertentu berdasarkan perhitungan kuantitatif rasio data kecelakaan periode terkini.



Kinerja keselamatan penerbangan yang akan dicapai dan ditetapkan Pemerintah nilainya harus lebih kecil daripada rasio data kecelakaan periode terkini.



Rasio data kecelakaan adalah data kuantitatif jumlah kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa dibandingkan dengan jumlah pendaratan, jumlah keberangkatan, dan/atau jumlah jam terbang pesawat udara kategori transpor komersial.



Penetapan target kinerja keselamatan penerbangan disusun berdasarkan pertimbangan dan masukan para pemangku kepentingan (stake holders).



Huruf b



Yang dimaksud dengan “indikator kinerja keselamatan penerbangan” adalah ukuran kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui tingkat pencapaian kinerja keselamatan penerbangan.



Huruf c



Yang dimaksud dengan “pengukuran pencapaian keselamatan penerbangan” adalah kegiatan yang dilakukan secara berkala dan berkelanjutan untuk mengetahui tercapainya target kinerja keselamatan.



Pasal 312

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “audit” adalah pemeriksaan yang terjadwal, sistematis, dan mendalam terhadap prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa penerbangan untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku.



Huruf b

Yang dimaksud dengan “inspeksi” adalah pemeriksaan sederhana terhadap pemenuhan standar suatu produk akhir objek tertentu.



Huruf c

Yang dimaksud dengan “pengamatan” adalah kegiatan penelusuran yang mendalam atas bagian tertentu dari prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa penerbangan dan pemangku kepentingan lainnya untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan dan peraturan yang berlaku.



Huruf d

Yang dimaksud dengan “pemantauan” adalah kegiatan evaluasi terhadap data, laporan, dan informasi untuk mengetahui kecenderungan kinerja keselamatan penerbangan.



Pasal 314

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “penyedia jasa penerbangan”, antara lain:

badan usaha angkutan udara;
badan usaha bandar udara dan unit penyelenggara bandar udara;
penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan;
badan usaha pemeliharaan pesawat udara;
penyelenggara pendidikan dan pelatihan penerbangan; dan
badan usaha rancang bangun dan pabrik pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang, dan komponen pesawat udara.


Pasal 315

Huruf b

Yang dimaksud dengan “manajemen risiko keselamatan” adalah rangkaian kegiatan berkelanjutan dimulai dari identifikasi bahaya, analisis risiko, penilaian tingkat risiko, dan langkah- langkah penurunan risiko untuk mencapai tingkat risiko yang dapat diterima.



Huruf c

Yang dimaksud dengan “jaminan keselamatan” adalah upaya untuk mempertahankan dan/atau meningkatkan keselamatan melalui kegiatan pengawasan dan pengukuran     kinerja keselamatan, serta perbaikan sistem keselamatan secara berkelanjutan.



Pasal 318

Yang dimaksud dengan “budaya keselamatan penerbangan” adalah keyakinan, pola pikir, pola sikap, dan perasaan tertentu yang mendasari dan mengarahkan tingkah laku seseorang atau organisasi untuk menciptakan keselamatan penerbangan.



Budaya keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud di atas perlu dibangun dalam bentuk budaya lapor (reporting culture), budaya saling mengingatkan (informed culture), budaya belajar (learning culture), dan just culture.



Just culture sebagaimana dimaksud di atas adalah suatu kondisi kepercayaan pada saat masyarakat didorong bahkan diberi hadiah untuk menyampaikan informasi yang berhubungan dengan keselamatan dan dipahami secara jelas batasan perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.



Pasal 331

Ayat (2)

Huruf d

Yang dimaksud dengan “pengujian (test)” adalah uji coba secara tertutup atau terbuka terhadap upaya keamanan penerbangan atau tindakan keamanan penerbangan dengan simulasi percobaan untuk tindakan melawan hukum.



Pasal 334



Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “personel yang berkompeten di bidang keamanan penerbangan” adalah personel yang telah memiliki lisensi.





Pasal 335

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penumpang tertentu”, antara lain, orang sakit diberikan kemudahan perlakuan pemeriksaan keamanan.



Yang dimaksud dengan “kargo tertentu”, antara lain, barang- barang yang mudah rusak bila dilakukan pemeriksaan dengan X- Ray sepanjang dilengkapi dokumen yang sah.



Pasal 338

Yang dimaksud dengan “gangguan atau ancaman keamanan”, antara lain, pembajakan atau ancaman bom.



Pasal 340

Cukup jelas. Ayat (3)

Huruf c

Pemberitahuan muatan barang berbahaya mencakup, antara lain, nama dan jenis, nomor identitas, klasifikasi, jumlah kemasan, jenis kemasan, berat per kemasan, volume perkemasan, kode darurat (emergency), dan penempatannya.



Pasal 342

Yang dimaksud dengan “persyaratan keamanan penerbangan” adalah dipenuhinya persyaratan di pesawat udara, antara lain:

berupa tempat untuk meredam bahan peledak;
menentukan daerah bagian pesawat udara yang bisa menerima ledakan dengan tidak membahayakan kegiatan penerbangan; dan
pintu ruang kemudi pesawat udara (cockpit door) yang terbuat dari material yang tahan peluru dan dengan sistem pembuka rahasia dari kabin pesawat udara.


Kategori transpor yang dipersyaratan dalam ketentuan ini adalah pesawat udara yang beratnya saat lepas landas (MTOW) 45.500 kg keatas atau yang berkapasitas tempat duduk lebih dari 60 tempat duduk.



Pasal 344

Huruf c

Yang dimaksud dengan “fasilitas aeronautika”, antara lain, radar dan menara pengatur lalu lintas penerbangan.



Pasal 345

Ayat (2)

Program penanggulangan keadaan darurat (contingency plan) merupakan bagian dari program pengamanan bandar udara.





Pasal 348

Fasilitas keamanan penerbangan, antara lain, berupa peralatan:

pendeteksi bahan peledak;
pendeteksi bahan organik dan non-organik;
pendeteksi metal;
pendeteksi bahan nuklir, biologi, kimia, dan radioaktif;
pemantau lalu lintas orang, kargo, pos, kendaraan, dan pesawat udara di darat;
penunda upaya kejahatan dan pembatas daerah keamanan terbatas; serta
komunikasi keamanan penerbangan.


Pasal 357

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “kecelakaan” adalah peristiwa pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan:

kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan;
dan/atau

korban jiwa atau luka serius.


Yang dimaksud dengan “kejadian serius” adalah suatu kondisi pengoperasian pesawat udara hampir terjadinya kecelakaan.



Pasal 358

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pesawat tertentu” adalah pesawat udara yang dikategorikan berdasarkan berat.

Yang dimaksud dengan “pihak terkait”, antara lain, organisasi penerbangan sipil internasional.



Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “tanggapan” adalah pendapat dari pihak terkait terhadap rancangan laporan akhir investigasi. Tanggapan yang dapat diterima dijadikan bagian dari laporan akhir, sedangkan tanggapan yang tidak dapat diterima dijadikan lampiran dari laporan akhir.



Pasal 359

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “informasi rahasia (non disclosure of records)”, antara lain:

pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi;
rekaman atau transkrip komunikasi antara orang-orang yang terlibat di dalam pengoperasian pesawat udara;
informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian;
rekaman suara di ruang kemudi (cockpit voice recorder) dan catatan kata demi kata (transkrip) dari rekaman suara tersebut;
rekaman dan transkrip dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas penerbangan (air traffic services); dan
pendapat   yang   disampaikan   dalam   analisis   informasi termasuk rekaman informasi penerbangan (flight data recorder).


Pasal 363

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang di lokasi kecelakaan pesawat udara”, antara lain, aparat keamanan setempat.



Pasal 364

Yang dimaksud dengan “penyelidikan lanjutan” adalah suatu proses untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi personel penerbangan atas tindakan, keputusan atau pengabaian yang dilakukan berdasarkan hasil pelatihan dan pengalamannya (actions, omissions or decisions taken by them that are commensurate with their experience and training) serta penentuan dari sisi profesi perilaku mana yang dapat diterima atau yang tidak dapat ditoleransi (the role of domain expertise be in judging whether is acceptable or unacceptable).



Pasal 381

Ayat (4)

Huruf c

Yang dimaksud dengan “perluasan kesempatan kerja” adalah kegiatan yang dilaksanakan guna perluasan kesempatan kerja di bidang penerbangan untuk pemenuhan kebutuhan pasar tenaga kerja di tingkat nasional dan internasional.



Pasal 388

Yang dimaksud dengan “penyelenggara pendidikan dan pelatihan” adalah lembaga yang mendapatkan akreditasi dari lembaga sertifikasi profesi atau disahkan oleh Menteri.



Pasal 389 sd Pasal 466 Cukup jelas.





TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4956

  • Share: